PERAN PERBANKAN BAGI PEREKONOMIAN DI INDONESIA
DESY PERMATA SARI
3DD04
34209893
TUGAS SOFTSKILL
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote.Kata bank berasal dari bahasa Italia banca berarti tempat penukaran uang . Sedangkan menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak
Industri perbankan telah mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir.Industri ini menjadi lebih kompetitif karena deregulasi peraturan. Saat ini, bank memiliki fleksibilitas pada layanan yang mereka tawarkan, lokasi tempat mereka beroperasi, dan tarif yang mereka bayar untuk simpanan deposan.
1.1.1 Pengertian Perbankan
Menurut UU RI No 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana,menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya.Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana merupaka kegiatan pokok bank sedangkan memberikan jasa bank lainnya hanya kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun dana, berupa mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito.
Biasanya sambil diberikan balas jasa yang menarik seperti, bunga dan hadiah sebagai rangsangan bagi masyarakat. Kegiatan menghimpun dana, berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan jasa-jasa perbankan lainnya diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan utama tersebut.bank didirikan oleh Prof. Dr. Ali Afifuddin, SE Menurut saya, bank merupakan sarana yang memudahkan aktivitas masyarakat untuk menyimpan uang, dalam hal perniagaan, maupun untuk investasi masa depan. Dunia perbankan merupakan salah satu institusi yang sangat berperan dalam bidang perekonomian suatu negara (khususnya dibidang pembiayaan perekonomian).
Inilah beberapa manfaat perbankan dalam kehidupan:
1. Sebagai model investasi, yang berarti, transaksi derivatif dapat dijadikan sebagai salah satu model berinvestasi. Walaupun pada umumnya merupakan jenis investasi jangka pendek (yield enhancement).
2. Sebagai cara lindung nilai, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai salah satu cara untuk menghilangkan risiko dengan jalan lindung nilai (hedging), atau disebut juga sebagai risk management.
3. Informasi harga, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai sarana mencari atau memberikan informasi tentang harga barang komoditi tertentu dikemudian hari (price discovery).
4. Fungsi spekulatif, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan kesempatan spekulasi (untung-untungan) terhadap perubahan nilai pasar dari transaksi derivatif itu sendiri
5. Fungsi manajemen produksi berjalan dengan baik dan efisien, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan gambaran kepada manajemen produksi sebuah produsen dalam menilai suatu permintaan dan kebutuhan pasar di masa mendatang.
Terlepas dari funsi-fungsi perbankan (bank) yang utama atau turunannya, maka yang perlu diperhatikan untuk dunia perbankan, ialah tujuan secara filosofis dari eksistensi bank di Indonesia. Hal ini sangat jelas tercermin dalam Pasal empat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menjelaskan, ”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”. Meninjau lebih dalam terhadap kegiatan usaha bank, maka bank (perbankan) Indonesia dalam melakukan usahanya harus didasarkan atas asas demokrasi ekonomi yang menggunakan prinsip kehati-hatian.4 Hal ini, jelas tergambar, karena secara filosofis bank memiliki fungsi makro dan mikro terhadap proses pembangunan bangsa.
1.1.2 Sejarah Perbankan Asal Mula Perbankan
Bank pertama kali didirikan dalam bentuk seperti sebuah firma pada umumnya pada tahun 1690, pada saat kerajaan Inggris berkemauan merencanakan membangun kembali kekuatan armada lautnya untuk bersaing dengan kekuatan armada laut Perancis akan tetapi pemerintahan Inggris saat itu tidak mempunyai kemampuan pendanaan kemudian berdasarkan gagasan William Paterson yang kemudian oleh Charles Montagu direalisasikan dengan membentuk sebuah lembaga intermediasi keuangan yang akhirnya dapat memenuhi dana pembiayaan tersebut hanya dalam waktu duabelas hari.
Sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan adalah pada zaman kerajaan tempo dulu di daratan Eropa Kemudian usaha perbankan ini berkembang ke Asia Barat oleh para pedagang. Perkembangan perbankan di Asia, Afrika dan Amerika]] dibawa oleh bangsa Eropa pada saat melakukan penjajahan ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika maupun benua Amerika. Bila ditelusuri, sejarah dikenalnya perbankan dimulai dari jasa penukaran uang. Sehingga dalam sejarah perbankan, arti bank dikenal sebagai meja tempat penukaran uang. Dalam perjalanan sejarah kerajaan di masa dahulu penukaran uangnya dilakukan antar kerajaan yang satu dnegan kerajaan yang lain.
Kegiatan penukaran ini sekarang dikenal dengan nama Pedagang Valuta Asing (Money Changer). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang atau yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan.Berikutnya kegiatan perbankan bertambah dengan kegiatan peminjaman uang. Uang yang disimpan oleh masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali kepada masyarakatyang membutuhkannya. Jasa-jasa bank lainnya menyusul sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam.[
1.1.3 Sejarah Perbankan di Indonesia
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu De javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri serta terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda. Bank-bank yang ada itu antara lain
- De Javasce NV.
- De Post Poar Bank.
- Hulp en Spaar Bank.
- De Algemenevolks Crediet Bank.
- Nederland Handles Maatscappi (NHM).
- Nationale Handles Bank (NHB).
- De Escompto Bank NV.
- Nederlansche Indische Handelsbank
Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan orang-orang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut antara lain:
- NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank
- Bank Nasional indonesia.
- Bank Abuan Saudagar.
- NV Bank Boemi.
- The Chartered Bank of India, Australia and China
- Hongkong & Shanghai Banking Corporation
- The Yokohama Species Bank.
- The Matsui Bank.
- The Bank of China.
- Batavia Bank.
Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain:
- NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (saat ini Bank OCBCNISP), didirikan 4 April 1941 dengan kantor pusat di Bandung
- Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal dengan BNI '46.
- Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dari De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.
- Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo.
- Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.
- Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.
- Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank Amerta.
- NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.
- Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan Bank Pasifik.
- Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.
Di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan. Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syari'ah, dan juga BPR Syari'ah (BPRS). Masing-masing bentuk lembaga bank tersebut berbeda karakteristik dan fungsinya.
1.2 BANK PEMERINTAH
Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961 yang melarang pengumuman dan penerbitan angka-angka statistik moneter/perbankan, maka antara tahun 1960-1965, Bank Indonesia tidak menerbitkan laporan tahunan, termasuk data statistik mengenai kliring dan perhitungan sentral.
Pada 5 Juli 1964, atas dasar pertimbangan politik untuk mempermudah komando di bidang perbankan untuk menunjang Pembangunan Semesta Berencana selanjutnya pada tahun 1965 pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengintegrasikan seluruh bank-bank pemerintah ke dalam satu bank dengan nama Bank Negara Indonesia, prakarsa pengintegrasian bank pemerintah ini berasal dari ide Jusuf Muda Dalam, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia - yang baru diangkat dari jabatan semula Presiden Direktur BNI - dan disetujui oleh Presiden Soekarno. Ide dasarnya adalah menjadikan perbankan sebagai alat revolusi dengan motto Bank Berdjoang di bawah pimpinan Pemimpin Besar Revolusi.
Nama Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank tunggal, diusulkan oleh Jusuf Muda Dalam sendiri. Hasilnya adalah lahirnya struktur baru Bank Berdjoang ini menjadikan;
- Bank Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit I
- Bank Koperasi Tani dan Nelayan serta Bank Eksim Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit II;
- Bank Negara Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit III;
- Bank Umum Negara menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan
- Bank Tabungan Negara menjadi Bank Negara Indonesia Unit V
Akan tetapi tidak semua bank pemerintah berhasil diintegrasikan ke dalam Bank Berdjoang yakni Bank Dagang Negara (BDN) dan Bapindo. Luputnya BDN dari proses pengintegrasian ini terutama karena Presiden Direktur BDN J.D. Massie saat itu menjabat sebagai Menteri Penertiban Bank-bank Swasta Nasional yang tentu mempunyai cukup punya pengaruh untuk berkeberatan atas penyatuan BDN dengan bank-bank lainnya.Massie beralasan bahwa kebijakan ini akan membingungkan koresponden bank di luar negeri untuk penyelesaian L/C ekspor maupun impor karena nama bank yang sama sementara, Bapindo tidak terintegrasi ke dalam Bank Berjuang karena bank ini dibawah Dewan Pembangunan yang diketuai Menteri Pertama Urusan Pembangunan dengan anggota-anggota Menteri Keuangan, yang juga Ketua Dewan Pengawas Bapindo, dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota.Dengan demikian, melalui kedudukannya itu, pengaruh Bapindo cukup kuat untuk menghalangi terintegrasi ke dalam BNI.
1.2.1 SEJARAH BANK PEMERINTAH
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengenal dunia perbankan dari bekas penjajahnya, yaitu Belanda. Oleh karena itu, sejarah perbankanpun tidak lepas dari pengaruh negara yang menjajahnya baik untuk bank pemerintah maupun bank swasta nasional. Pada 1958, pemerintah melakukan nasionalisasi bank milik Belanda mulai dengan Nationale Handelsbank (NHB) selanjutnya pada tahun 1959 yang diubah menjadi Bank Umum Negara (BUNEG kemudian menjadi Bank Bumi Daya) selanjutnya pada 1960 secara berturut-turut Escomptobank menjadi Bank Dagang Negara (BDN) dan Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM) menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) dan kemudian menjadi Bank Expor Impor Indonesia (BEII)..
Berikut ini akan dijelaskan secara singkat sejarah bank-bank milik pemerintah, yaitu:
Berikut ini akan dijelaskan secara singkat sejarah bank-bank milik pemerintah, yaitu:
- Bank Sentral
Bank Sentral di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI) berdasarkan UU No 13 Tahun 1968. Kemudian ditegaskan lagi dnegan UU No 23 Tahun 1999.Bank ini sebelumnya berasal dari De Javasche Bank yang di nasionalkan di tahun 1951.
- Bank Rakyat Indonesia dan Bank Expor Impor
Bank ini berasal dari De Algemene Volkscrediet Bank, kemudian di lebur setelah menjadi bank tunggal dengan nama Bank Nasional Indonesia (BNI) Unit II yang bergerak di bidang rural dan expor impor (exim), dipisahkan lagi menjadi:
1. Yang membidangi rural menjadi Bank Rakyat Indonesia dengan UU No 21 Tahun 1968.
2. Yang membidangi Exim dengan UU No 22 Tahun 1968 menjadi Bank Expor Impor Indonesia.
- Bank Negara Indonesia (BNI '46)
Bank ini menjalani BNI Unit III dengan UU No 17 Tahun 1968 berubah menjadi Bank Negara Indonesia '46.
- Bank Dagang Negara(BDN)
BDN berasal dari Escompto Bank yang di nasionalisasikan dengan PP No 13 Tahun 1960, namun PP (Peraturan Pemerintah) ini dicabut dengan diganti dengan UU No 18 Tahun 1968 menjadi Bank Dagang Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank Pemerintah yangberada diluar Bank Negara Indonesia Unit.
- Bank Bumi Daya (BBD)
BBD semula berasal dari Nederlandsch Indische Hendles Bank, kemudian menjadi Nationale Hendles Bank, selanjutnya bank ini menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan berdasarkan UU No 19 Tahun 1968 menjadi Bank Bumi Daya.
- Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo)
- Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bank ini didirikan di daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah UU No 13 Tahun 1962.
- Bank Tabungan Negara (BTN)
BTN berasal dari De Post Paar Bank yang kemudian menjadi Bank Tabungan Pos tahun 1950. Selanjutnya menjadi Bank Negara Indonesia Unit V dan terakhir menjadi Bank Tabungan Negara dengan UU No 20 Tahun 1968.
- Bank Mandiri
Bank Mandiri merupakan hasil merger antara Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor Indonesia (Bank Exim). Hasil merger keempat bank ini dilaksanakan pada tahun 1999.
1.3 BANK SWASTA
Pada tahun 1965 pemerintah hendak mengabungkan seluruh bank swasta atau bank asing dalam Bank Pembangunan Swasta sebagai satu-satunya bank penghimpun dan penyalur dari semua dana-dana progresif di sektor swasta dan alat-alat yang dapat dipergunakan Pembangunan Semesta Berencana dan rencana-rencana lain yang ditentukan oleh Presiden Republik Indonesia.
1.4 TUJUAN JASA PERBANKAN
Jasa bank sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Jasa perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan. Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efesien bagi nasabah. Untuk ini, bank menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit. Ini adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupan ekonomi. Tanpa adanya penyediaan alat pembayaran yang efesien ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara barter yang memakan waktu
Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif.
Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif.
Bila peran ini berjalan dengan baik, ekonomi suatu negara akan menngkat. Tanpa adanya arus dana ini, uang hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan bisnis tidak dapat dibangun karena mereka tidak memiliki dana pinjaman.
Para ahli perbankan di negara-negara maju mendefinisikan bank umum sebagai institusi keuangan yang berorientasi laba. Untuk memperoleh laba tersebut bank umum melaksanakan fungsi intermediasi. Karena diizikan mengumpulkan dana dalam bentuk deposito, bank umum disebut juga sebagai lembaga keuangan depositori. Berdasarkan kemampuannya menciptakan uang (giral), bank umum dapat juga disebut sebagai bank umum pencipta uang giral.
Pengertian bank umum menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 :
“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.“
“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.“
Fungsi-fungsi bank umum yang diuraikan di bawah ini menujukkan betapa pentingnya keberadaan bank umum dalam perekonomian modern, yaitu :
1. Penciptaan uang
Uang yang diciptakan bank umum adalah uang giral, yaitu alat pembayaran lewat mekanisme pemindahbukuan (kliring). Kemampuan bank umum menciptakan uang giral menyebabkan possisi dan fungsinya dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Bank sentral dapat mengurangi atau menambah jumlah uang yang beredar dengan cara mempengaruhi kemampuan bank umum menciptakan uang giral
2. Mendukung Kelancaran Mekanisme Pembayaran
Fungsi lain dari bank umum yang juga sangat penting adalah mendukung kelancaran mekanisme pembayaran. Hal ini dimungkinkan karena salah satu jasa yang ditawarkan bank umum adalah jasa-jasa yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran. Beberapa jasa yang amat dikenal adalah kliring, transfer uang, penerimaan setoran-setoran, pemberian fasilitas pembayaran dengan tunai, kredit, fasilitas-fasilitas pembayaran yang mudah dan nyaman, seperti kartu plastik dan sistem pembayaran elektronik.
3. Penghimpunan Dana Simpanan Masyarakat
Dana yang paling banyak dihimpun oleh bank umum adalah dana simpanan. Di Indonesia dana simpanan terdiri atas giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Kemampuan bank umum menghimpun dana jauh lebih besar dibandingkan dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya. Dana-dana simpanan yang berhasil dihimpun akan disalurkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, utamanya melalui penyaluran kredit.
4. Mendukung Kelancaran Transaksi Internasional
Bank umum juga sangat dibutuhkan untuk memudahkan dan atau memperlancar transaksi internasional, baik transaksi barang/jasa maupun transaksi modal. Kesulitan-kesulitan transaksi antara dua pihak yang berbeda negara selalu muncul karena perbedaan geografis, jarak, budaya dan sistem moneter masing-masing negara. Kehadiran bank umum yang beroperasi dalam skala internasional akan memudahkan penyelesaian transaksi-transaksi tersebut. Dengan adanya bank umum, kepentingan pihak-pihak yang melakukan transaksi internasional dapat ditangani dengan lebih mudah, cepat, dan murah.
5. Penyimpanan Barang-Barang Berharga
Penyimpanan barang-barang berharga adalah satu satu jasa yang paling awal yang ditawarkan oleh bank umum. Masyarakat dapat menyimpan barang-barang berharga yang dimilikinya seperti perhiasan, uang, dan ijazah dalam kotak-kotak yang sengaja disediakan oleh bank untuk disewa (safety box atau safe deposit box). Perkembangan ekonomi yang semakin pesat menyebabkan bank memperluas jasa pelayanan dengan menyimpan sekuritas atau surat-surat berharga.
6. Pemberian Jasa-Jasa Lainnya
Di Indonesia pemberian jasa-jasa lainnya oleh bank umum juga semakin banyak dan luas. Saat ini kita sudah dapat membayar listrik, telepon membeli pulsa telepon seluler, mengirim uang melalui atm, membayar gaji pegawai dengan menggunakan jasa-jasa bank. Jasa-jasa ini amat memudahkan dan memberikan rasa aman dan nyaman kepada pihak yang menggunakannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 INSTITUSI PERBANKAN DI INDONESIA
Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Berdasarkan undang-undang, struktur perbankan di Indonesia, terdiri atas bank umum dan BPR. Perbedaan utama bank umum dan BPR adalah dalam hal kegiatan operasionalnya. BPR tidak dapat menciptakan uang giral, dan memiliki jangkauan dan kegiatan operasional yang terbatas. Selanjutnya, dalam kegiatan usahanya dianut dual bank system, yaitu bank umum dapat melaksanakan kegiatan usaha bank konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah. Sementara prinsip kegiatan BPR dibatasi pada hanya dapat melakukan kegiatan usaha bank konvensional atau berdasarkan prinsip syariah
2.1.1 Rekapitulasi Institusi Perbankan di Indonesia Oktober 2011
Kesulitan yang menimpa perekonomian Indonesia, terutama sejak terjadinya krisis 1997 yang masih berlangsung hingga tahun ini, mungkin tidak perlu terjadi apabila antara lain dunia usaha secara sungguh-sungguh melaksanakan prinsip-prinsip manajemen keuangan perusahaan yang sehat yakni dengan antara lain menyeimbangkan struktur permodalan sedemikian rupa sehingga keperluan jangka pendek benar-benar dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan jangka pendek, sedangkan keperluan jangka penjang dibiayai dari sumber pembiayaan jangka panjang.
Pada hakekatnya yang dimaksud dengan struktur permodalan adalah pencerminan dari perimbangan antara hutang jangka panjang dan modal sendiri dari suatu perusahaan. Perbaikan struktur permodalan dunia usaha merupakan keharusan untuk meningkatkan efisiensi dan memperkokoh daya saing perusahaan dalam menghadapi persaingan yang semakin tajam terutama dalam era globalisasi3. Upaya-upaya perbaikan dapat dilakukan salah satunya dengan memperhatikan aspek-aspek good corporate governance, yang studi dan risetnya makin banyak dilakukan oleh berbagai institusi baik dalam lingkungan nasional maupun internasional. Globalisasi yang ditandai dengan adanya perapatan dunia (compression of the world) telah mengubah peta perekonomian, politik, dan budaya. Pergerakan barang dan jasa terjadi semakin cepat. Modal dari suatu negara beralih ke negara lain dalam hitungan detik akibat pemanfaatan teknologi informasi.
Sejalan dengan itu, kegiatan perbankan sebagai urat nadi perekonomian bangsa tidak luput dari dampak globalisasi. Dalam menjalankan fungsi intermediary, perbankan menjadi pelaku ekonomi yang berperan memudahkan lalu lintas dana melalui jasa transfer via media elektronik. Salah satu permasalahan hukum dalam jasa perbankan adalah belum adanya peraturan yang memberikan rambu-rambu bagi kegiatan transfer dana elektronik ini, seperti dasar hukum transfer dana, status kepemilikan dana transfer, perlindungan hukum bagi pengirim dan penerima dana transfer dalam hal terjadi kesalahan yang ditimbulkan oleh pihak bank, kedudukan pemilik dana dalam hal ini bank dilikuidasi atau pailit.
Permasalah-permasalahan di atas memerlukan aturan agar memberikan kepastian hukum bagi pengguna jasa perbankan. Aspek-aspek hukum lain di dalam bidang keuangan dan perbankan juga banyak mewarnai problematika di bidang ekonomi dan hukum, misalnya penyimpangan BLBI, prudential principles yang dihadapkan dengan penurunan fungsi intermediasi perbankan, munculnya fenomena fee-based income dalam praktik perbankan, dan berbagai persoalan ekonomi-hukum lainnya, yang kesemuanya itu perlu memperoleh perhatian kita bersama. Penerapan prinsip kehati-hatian (prudential banking principles) dalam seluruh kegiatan perbakan merupakan salah satu cara untuk menciptakan perbankan yang sehat, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap perekonomian secara makro.
Implementasi prinsip ini harus menyeluruh, tidak hanya menyangkut masalah pemberian kredit, tetapi dimulai saat bank tersebut didirikan, penentuan manajemen yang memenuhi uji kecukupan dan kelayakan (fit and proper test) yang tidak bersifat seremonial. Ketentuan Bank Indonesia yang mewajibkan fit proper test bagi pengurus bank masih memiliki banyak kelemahan, seperti masih dimungkinkannya pengurus yang tidak lulus tes untuk tetap bertahan walaupun harus bertanggungjawab secara pribadi.
Disamping itu, dalam memberikan kemudahan akses kepada para nasabahnya,
maka penggunaan mesin-mesin ATM, debit card dan credit card berpotensi untuk merugikan nasabah melalui pembobolan rekening, kerusakan mesin, dan
kesalahan-kesalahan teknis lainnya yang belum tersentuh oleh rambu-rambu hukum. Kewajiban bank untuk menyediakan mesin-mesin yang layak dan aman seharusnya mengacu pada standart tertentu, yang secara berkala seharusnya ditera/dikalibrasi ulang.
Selama ini belum ada keseragaman mengenai standar mesin yang layak untuk dioperasikan. Kasus-kasus yang menunjukkan bahwa kerugian nasabah yang disebabkan tidak layaknya mesin yang digunakan sudah cukup banyak mendorong dibuatnya standarisasi setiap teknologi yang digunakan. Tanpa menafikkan keberadaan lembaga peradilan, praktik perbankan memerlukan penyelesaian kasus-kasus perbankan yang ditangani secara professional, menjamin stabilitas perekonomian dan kepercayaan masyarakat dan perbankan.
Kasus-kasus perbankan yang ditangani secara bertele-tele, publikasi yang gencar dan peradilan yang tidak independen, akan meruntuhkan reputasi perbankan. Oleh karena itu, perlu adanya gagasan untuk menciptakan mekanisme penyelesaian yang efesien, efektif dan tetap menjaga reputasi perbankan4. Hal penting lainnya adalah berkaitan dengan Lembaga Penjamin Simpanan. Sebagai mana di amanatkan oleh UU Perbankan, pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan harus sesegera mungkin diwujudkan menyusul akan dihapuskannya kewajiban pemerintah sebagai penjamin dan berakhirnya tugas BPPN. Aspek hukum yang perlu diperhatikan adalah mengenai status Lembaga Penjamin Simpanan, perolehan dana jaminan dan pemanfaatan dana jaminan, yang harus dituangkan dalam peraturan yang jelas. Selain itu, berkaitan dengan berakhirnya tugas BPPN, perlu adanya lembaga sementara yang bertugas menyelesaikan seluruh kewajiban BPPN, terutama transaksi-transaksi yang sudah dilakukan, dan bahkan kemungkinan tuntutan hukum, apabila dalam pengelolaan aset, BPPN telah melakukan kesalahan atau perbuatan melawan hukum.
Dalam upaya untuk mengcover banyaknya masalah dalam praktik keuangan dan perbankan nasional tentu bukan hal yang mudah untuk dibahas dalam sebuah paparan singkat, maka pada hubungan itulah paper ini akan berupaya membahas lebih lanjut esensi dari berbagai permasalahan yang telah dianalisir dimuka melalui pembahasan beberapa aspek hukum sektor keuangan dan perbankan, yang dalam pembahasannya akan mengacu pada beberapa permasalahan utama yang berkaitan dengan masalah sistem hukum, penerapan good corporate governance dalam sistem keuangan dan perbankan nasional, dan juga peran hukum dalam mengakomodasi berbagai fenomena yang terjadi dalam bidang keuangan dan perbankan.
2.2 Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
2.2.1 Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia
Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran kebijakanmoneter.
Dengan kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan.
Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional, stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan inflasi.
2.3 Pengenalan Inflasi
Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.
Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.
Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:
- Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas. [Penjelasan lebih detail mengenai IHPB dapat dilihat pada web site Badan Pusat Statistik www.bps.go.id]
- Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.
2.3.2 Pengelompokan Inflasi
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu :
- Kelompok Bahan Makanan
- Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
- Kelompok Perumahan
- Kelompok Sandang
- Kelompok Kesehatan
- Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
- Kelompok Transportasi dan Komunikasi.
2.4. Dualisme Sistem Hukum
Sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental
merupakan dasar bagi para penegak hukum untuk menggunakan hukum positif dari sistem Eropa Kontinental tersebut dalam membuat setiakeputusan. Namun di sisi lain, cukup banyak peraturan perundang-undangan pada sektor keuangan dan perbankan yang sangat dipengaruhi oleh sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law. Aplikasi kedua sistem hukum yang berbeda tersebut dalam hukum positif di Indonesia pada sektor keuangan dan perbankan dalam banyak hal telah mengakibatkan dis-harmoni, yang dapat terlihat dari pengaturan yang tidak konsisten satu sama lain dari kedua sistem hukum tersebut yang berpadu dalam suatu materi yang sama.Sebagai misal, dalam perdagangan surat berharga tanpa warkat (scriptlesstrading) umumnya dipergunakan aplikasi teknologi.
Hal ini telah menjadi ciri umum perdagangan di berbagai negara maju maupun di beberapa negara berkembangan lainnya, termasuk Indonesia. Praktik scriptless trading ini hanya dimungkinkan apabila disertai dengan suatu tanda tangan digital yang tidak dikenal dalam sistem hukum positif di Indonesia, yang akan mengakibatkan perdagangan tersebut tidak sah sehingga batal dengan sendirinya atau dapat dibatalkan. Ketimpangan ini umumnya diselesaikan dengan suatu aturan yang mempunyai tingkat hierarkhi yang lebih rendah dari Undang-undang. Hal ini dapat saja dilakukan sepanjang tidak terjadi suatu perselisihan hukum. Namum dalam hal terjadi perselisihan hukum, maka akan menjadi hal penting untuk di indentifikasi adalah “sistem hukum mana yang akan dianut oleh para penegak hukum?”. Jawaban tentu saja “sistem hukum positif Indonesia yakni sistem hukum Kontinental”.
Namun keadaan ini sebenarnya merupakan tantangan bagi para ahli hukum dalam menerapkan konsep “hukum sebagai sarana pembaharuan” yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja, yang bermula dari konsep “law as a tool of social engineering” dari Roscoe Pound.
Dengan demikian, hukum harus diciptakan untuk kepentingan masyarakat dan
bukan sebaliknya. Namun demikian masalah dualisme sistem hukum ini, dapat pula dipandang sebagai suatu konvergensi positif dari dua sistem hukum yang berbeda.
Konvergensi kedua sistem hukum ini disebabkan utamanya oleh perkembangan ekonomi dan Internasionalisasi pasar 5. Jadi, sebagai multiplier effect dari konvergensi di bidang ekonomi, maka pada instansiinstansi hukum yang relevan dengan bidang ekonomi juga terjadi konvergensi.
Dengan bidang ekonomi juga terjadi konvergensi. Walaupun ada konvergensi
ekonomi yang berakibat pada konvergensi di bidang hukum, pada kenyataannya tidak semua aspek hukum yang bersifat prosedural tidak terdapat konvergensi6. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan budaya dan tradisi hukum di masing-masing negara7. Dengan dipandangnya pertemuan yang tidak terhindarkan dari kedua sistem hukum yang berbeda ini, maka konvergensi ini dapat lebih memudahkan regulasi yang akomodatif dan kondusif bagi kebutuhan bisnis dan ekonomi. Patut pula dicatat faktor penting lain yaitu kebijakan ekonomi jyang dilakukan oleh pemerintah dari negaranegara Asia yang menjadi kunci yang determinan bagi perubahan sistemhukum antara 1960 hingga saat ini .
2.5. Penerapan Good Corporate Governance (GCG)
Menarik untuk disimak kutipan berikut, “Good corporate governance of banks is the sine qua non of a sound banking system. For individual banks it can reduces the cost of capital and enhance shareholder value. The Asia Banking crisis has, in part, been attributed to serious inadequacies in the governances of banks. Governance restructuring will have to accompany bank restructuring. If the latter is to be sustainable. Good bank governance may not work in isolation. It will need to be accompanied by good governance in the major constituents of the economic including the governance of central banks, banking supervisory agencies and
in the corporate sector. The post-crisis period has created an environment where most of the major actors in Asia are now willing to implement governance reforms. Not only as a way to ensure survival, but also as a competitive weapon’’9.
Bagi perusahaan, GCG merupakan asset dan memerlukan komitmen dan
investasi. Kultur governance harus ditumbuhkan termasuk aspek pengambilan keputusan dalam suatu manajemen. Daftar manfaat dari kepatuhan terhadap GCG
sudah cukup panjang, yang semuanya bermuara pada naiknya nilai tambah
pemegang saham (increasing shareholder value).
Contoh konkrit adalah huutang perusahaan-perusahaan swasta yang di bailed out dengan kebijakan ‘blanket guarantee’ semata-mata membuktikan bahwa sebahagian utama sektor kooperasi yang seharusnya menjadi pemain utama ekonomi tidak lagi berfungsi sebagai asset negara. Perusahaan-perusahaan swasta ini menjadi beban (liabilities) yang kiprahnya telah menimbulkan hutang baru yang harus ditanggung renteng oleh para anak, cucu dan cicit kita.
Lemahnya sektor korporasi ini telah menyebabkan mereka makin jauh dari peranannya sebagai ‘engine of growth’* atau sebagai primadona pembangunan. Ekonomi telah beralih ke ekonomi fiskal, ekonomi APBN, yang artinya sepanjang APBN aman maka demikian pula kinerja ekonominya. Di sisi lain, kita masih beruntung karena masih memiliki UKM (usaha kecil-menengah) dan sektor informal yang tinggi daya resistensinya terhadap gejolak yang timbul. Sektor inilah
yang mampu menyerap angkatan kerja serta menggairahkan mekanisme pasar
melalui permintaan dan penawarannya. Jumlah bunga obligasi yang dibayarkan
oleh pemerintah itulah yang masih mampu memutar roda ekonomi. Kota saat ini
hidup di ‘kebun bunga’. ‘Peranan bunga’ sangat dominan malah sektor perbankan
itu sendiri hidup dari memetik ‘bunga’ apakah itu dari obligasi pemerintah maupun
SBI. Penerimaan operasional perbankan kita relatif kecil disbanding dengan
penerimaan lain-lain. Penerimaan dari bunga termasuk ke dalam kelompok lainlain
tersebut. Oleh karenanya dengan segala daya kita harus mampu menjaga
agar pemerintah tidak ingkar janji (default) dalam pemenuhan kewajibannya
membayar bunga. Default hanya berarti ‘ the beginning of the end’ dan orang akan
mulai menengok pada krisi perbankan yang kedua.
* dalam artikel Ratna Januarta, Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan, Jurnal
Ilmu Hukum Litigasi, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Vol 4, nomor 2, Juni 2003, hlm.
103-117
Penyebab utama dari lemahnya pondasi ekonomi makro Indonesia dibuktikan
dalam studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000
di beberapa negara Asia Timur, khususnya Indonesia, Korea, Philippines dan
Thailand, yang menyimpulkan bahwa: ‘countries that sufferes dramatic reversals of
fortune during the Asian financial ciris have identified weaknesses in corporate
governance as one of the major sources of vulnerabilities that led to their
economic meltdown in 1997’’10.
Dilain pihak, Presiden Asian Development Bank, Mr.Tadao Chino pernah
mengatakan bahwa, “…. A dynamic private sector is critical to achieving propoor,
sustainable economic growth....”11. Dalam hal ini sektor korporasi erat kaitannya
dengan usaha pengentasan kemiskinan baik langsung maupun tidak langsung.
Dalam kesempatan yang sama, pernyataan senada juga disampaikan oleh banyak
pihak yang mewakili negara maju maupun yang mewakili negara berkembang,
dalam hal ini mereka menggaris-bawahi arti penting dan peran GCG dan arti
strategis peran sektor swasta dalam pembangunan.
Sektor korporasi yang mampu berperan positif bagi pembangunan ekonomi adalah
sektor korporasi yang merupakan aset nasional dan bukan mereka yang hanya
menjadi beban dan parasit masyarakat. Kelompok sektor koporasi ini adalah
kelompok yang patuh pada tata kelola korporasi yang baik, taat pada aturan main
dan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan kata lain, adalah mereka yang
mampu mempraktikkan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dalam
menjalankan usahanya.
Dalam kehidupan saat ini GCG harus merupakan komitmen, dan komitmen ini
membutuhkan investasi. Pembentukan beberapa komite seperti Komite Audit,
Komite Anggaran, dan lain sebagainya, termasuk pula pengangkatan Komisaris
dan Direksi Independen akan memerlukan biaya. Demikian pula penegakkan
10 Zhuang Juzhong et al. Corporate Governance and Finance in East Asia. Vol 1 Asia Development Bank
2000 hlm 1.
11 Chino, Tadao, opening Speech in Asian Development Banks Annual Meeting, Honolulu,USA, May 2001
transparansi, akuntabilitas dan tanggungjawab memerlukan publikasi dan
sosialisasi yang tidak budget neutral.
Manfaatnya sudah banyak terbukti, bahwa GCG menaikkan nilai tambah para
pemegang saham perusahaan. Namun, merubah kultur dan etos kerja tidak pula
mudah, termasuk sulitnya memperbaiki cara pengambilan keputusan dan merubah
perilaku manajemen. Dalam banyak segi, penerapan GCG baru sampai pada
tahap retorika. Keengganan menerapkan GCG lebih banyak disebabkan karena
sikap yang menilai bahwa GCG sebagai beban dan bukan sebagai aset
perusahaan.
Dengan demikian GCG sulit dimulai apabila orang masih bersikap skeptis. Hal ini
terlihat dari masih banyaknya yang beranggapan bahwa GCG itu tidak perlu
karena tidak adanya sanksi dan insentif. Perusahaan yang tidak menerapkan GCG
malah dinilai lebih maju, karena prinsip keterbukaan perusahaan bagi sementara
pihak dianggap lebih banyak negatif atau mudharatnya.
Namun di sisi lain, banyak juga perusahaan-perusahaan yang mudah merasakan
nilai tambah dari aplikasi GCG, seperti lebih mudanya akses ke pasar modal
Internasional serta banyaknya investor yang bersedia membayar premi yang lebih
tinggi bagi saham perusahaan yang telah menerapkan GCG. Dalam hubungan ini
kiranya perlu pula digalakkan penerapan label khusus bagi perusahaan yang
sudah menerapkan GCG seperti diberikan ISO khusus untuk GCG. Perusahaan
yang sudah menerapkan GCG akan membawa bendera bonafiditas. Efek positif
lainnya adalah mampu merekrut tenaga yang terbaik yang ada dipasar tenaga
kerja pada saat ini, tenaga professional lebih bersikap kritis dalam mencari
pekerjaan. Kelompok tenaga profesional ini hanya ingin bergabung dengan
perusahaan terbaik termasuk didalannya kepatuhannya terhadap praktek etika
bisnis. Bekerja pada perusahaan yang “brengsek” hanya akan membawa petaka.
Para karyawan akan selalu terbawa-bawa ketika perusahaan memperoleh
masalah. Oleh karena itu pula, paradigme shareholder oriented sudah bergeser ke
paradigma stakeholder oriented.
GCG pada dasarnya mencakup etika bisnis, kumpulan etika ini dimuat dalam code
of GCG. Dibutuhkan kesukarelaan dari pihak korporasi dalam mematuhi code ini12.
Tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak menaatinya karena memang sifatnya
voluntary compliance. Code atau pedoman sejenis ini biasanya pula diterbitkan
oleh lembaga/asosiasi profesi yang tidak mempunyai kewenangan publik,
misalnya Perbanas. Dalam pelaksanaannya, agar pedoman semacam ini dapat
dipaksakan, maka pedoman ini harus dikeluarkan oleh instansi/lembaga yang
mempunyai kewenangan mengatur. Oleh karena itu pula, banyak ketentuan
pedoman GCG yang diambil alih oleh Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku dan masyarakat diwajibkan untuk mematuhinya (mandatory compliance).
Disini dapat di terapkan sanksi bagi para pelanggarnya. Sebagai contoh adalah
ketentuan-ketentuan tentang praktik GCG dalam UU Perseroan Terbatas, UU
Pasar Modal, UU Perbankan dan juga peraturan pelaksanaanya.
Pada banyak negara berkembang, pelaksanaan GCG lebih didorong karena
adanya rasa takut terhadap sanksi yang ada, atau takut kepada para penguasa.
Peraturan yang berlaku menyediakan berbagai sanksi perdata maupun pidana,
bagi para pelanggarnya, apalagi saat ini di mana ultimum remedium lebih
menonjol dari primum remendium. Inilah sikap pentaatan terhadap GCG yang
bersifat regulatory driven dan bukan atas dorongan professional driven dan ethic
driven.
Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa GCG harus dianggap
sebagai asset yang tidak berwujud (intangible asset) yang akan memberikan hasil
balik yang memadai dalam hal memberikan nilai tambah kepada para pemegang
saham. GCG juga harus menajdi way of life atau kultur perusahaan yang dapat
dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan serta menjadi pedoman
perilaku manajemen.
12 Di Indonesia antara lain diterbitkan oleh Komite Nasional untuk GCG
Prinsip-prinsip responsibility; accountability, fairness, dan transparency yang
pertama kali diperkenalkan oleh OECD menjadi suatu prinsip dasar yang diadopsi
dan diadaptasi oleh banyak institusi dalam menyusun pedoman GCG. Dalam
konteks perbankan, apabila suatu bank akan go public, maka harga sahamnya di
pasar harus mencerminkan keempat prinsip dasar tersebut. Pasar yang efektif dan
efisien hanyalah pasar yang mampu mencerminkan harga yang telah
mengakomodasikan semua informasi yang ada. Praktek tercela insider trading
misalnya, tidak mencerminkan harga yang sebenarnya karena informasi yang
dapat mempengaruhi harga hanya dimiliki oleh para insiders yang melakukan
perdagangan.
Survey terakhir Mc Kinsey pada tahun 2002 membuktikan bahwa investor
bersedia membayar premium bagi ‘awell-governed company’. Untuk Indonesia
mereka bersedia membayar premi sebesar 27%. Suatu kesimpulan yang dapat
ditarik dari survey tersebut adalah bahwa semakin rendah tingkat budaya GCG
pada suatu negara maka premium yang akan diberikan akan semakin tinggi
kepada perusahaan yang menerapkan GCG13. Dalam hal ini, para investor akan
sangat menghargai manajemen perusahaan yang berani melakukan hal positif di
dalam tata kelola perusahaan walaupun lingkungannya tidak mendukung. Dengan
demikian, tidak ada pilihan lain, bagi sebuah bank yang merupakan lembaga
bisnis kepercayaan selain menerapkan konsep GCG termaksud.
Demikian pula komisaris dan direksi yang sudah berada pada jaman dan nuansa
pengelolaan bisnis yang berubah dimana suatu perusahaan yang tinggi daya
resistensinya terhadap berbagai krisis dan tinggi sustainabilitynya, hanyalah
perusahaan dengan tata kelola yang bernuansa GCG. Selaku leader of the last
resort, Bank Sentral juga harus mengeluarkan pedoman GCG yang dapat diikuti
oleh kalangan perbankan. Di dalam pedoman yang bersifat voluntary ini, harus
dimuat hal pokok dimana kewajiban pemenuhannya bersifat mandatory. Sistem
reward and punishment harus diperkenalkan. Hingga saat ini, belum ada satu
13 Ratna Jakarta, op sit, hlm. 106
bank pun yang mampu mengibarkan bendera GCG sebagai salah satu
bonafiditasnya. Belum ada benchmark bagi suatu bank yang fully GCG.
“the legal framework in a country is as vital for economic development as for
political and social development. Creating wealth through the cumulative
commitmen of human, technological and capital resources depends greatly on
a set of rules securing property rights, governing civil and commercial
behaviour, and limiting the power of the state…. The legal framework also
effects the lives of the poor and , as such, has become an important dimension
of strategies for poverty alleviation. Ini the strunggle against discrimination, in
the protection of the socially weak, and in the distribution of opportunities in the
society, the law can make an important contribution to a just and equitable
society and thus to prospects for social development and poverty alleviation’’14
pernyataan yang optimis dari World Bank tersebut merupakan referensi yang
bermanfaat untuk mendiskusikan peran hukum dalam pembangunan. Esensi dari
pernyataan tersebut antara lain menggaris-bawahi bahwa kerangka kerja hukum
dalam suatu negara adalah sangat penting bagi perkembangan ekonomi, politik
dan sosial. Kerangka hukum yang ditata baik sejak awal akan menciptakan efek
domino yang baik pada berbagai sektor kehidupan bernegara, dan sebaliknya.
Dalam kerangka mencapai sasaran berbagai perkembangan dan pembangunan
tersebut hukum harus menampakkan perannya. Dalam kaitannya dengan
kerangka dasar pembangunan nasional, hukum mewujudkan diri dalam 2 wajah,
yaitu di satu pihak hukum memperketatkan diri sebagai suatu aspek
pembangunan, artinya bahwa hukum itu diikat sebagai suatu faktor dari
pembangunan itu sendiri yang perlu untuk mendapat prioritas dalam usaha
penegakan pembangunan dan pembinaannya15. Di lain pihak hukum itu harus
dipandang sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat yang
akan menentukan keberhasilan usaha-usaha pembangunan nasional. Berkaitan
dengan masalah hubungan hukum dengan pembangunan ini, terdapat berbagai
14 World Bank, Governance: The world Bank’s Experience: The World Bank Washington DC, 1994
sebagaimana dikutip dalam Mc Auslan, Patrick, Law, Governance and the development of the market
practical problems and possible solutions dalam Faundez, Julio, Ed, Good Government and Law-Legal
and Institution Reform in Developing Countries The British Council, 1997, hlm 25
15 Jusuf Anwar, op cit, hlm 33.
konsep yang diajukan oleh pakar hukum. Pada umumnya mereka berpendapat
bahwa dalam pembangunan yang dilaksanakan, hukum berfungsi bukan hanya
sekedar “as a tool of social control” atau sebagai alat yang berfungsi
mempertahankan stabilitas, tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Roscoe
Pound, hukum juga berfungsi sebagai “as a tool of social engineering”16.
Sehubungan dengan hal ini Sumaryati Hartono berpendapat, penyusunan UUD
1945 sebenarnya beranjak pada filsafah futuristik yang antara lain dikemukakan
oleh Roscoe Pound, dan yang sekarang dikenal sebagai falsafah hukum yang
melihat peranan hukum sebagai a tool of social engineering. Falsafah ini di
Indonesia disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai falsafah yang
memberikan peranan kepada hukum sebagai sarana pembangunan, yang
pendekatannya ternyata memang sudah diterapkan oleh penyusun UUD 194517.
Hukum hanya berpegang pada kewenangannya untuk mengatur, memerintah,
memaksa, serta melarang dan sebagainya, tanpa menanyakan apakah ketentuan
yang dibuatnya dapat dijalankan secara efektif. Oleh karena itu, di dalam “social
Engineering” ini sangat penting peranan dan umpan balik (feedback), agar
pengaturan itu senantiasa dapat disesuaikan dengan keadaan yang timbul di
masyarakat. Apabila hukum itu dilihat sebagai suatu sarana penunjang terhadap
pembangunan maka fungsi hukum itu harus mempunyai suatu pola tertentu.
Konsep Mochtar Kusumaatmadja terasa memiliki ruang lingkup yang sangat luas –
lebih daripada Roscoe Pound sendiri sebagai orang pertama yang
mengkonsepsikan fungsi hukum sebagai tool seperti dijelaskannya: “Dalam
artinya yang luas maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas
dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat
16 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale Unversity Press, USA, 1854, hlm 47,
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
Bandung, LPHK FH UNPAD, Binacipta, Bandung 1976, hlm, 11-12
17 Mochtar Kusumaatmadja, hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, LPHK. UNPAD,
Binacipta, Bandung 1976, hlm 9 Suatu uraian tentang landasan pikiran, pola dan mekanisme
pembaharuan hukum di Indonesia.
melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses
(process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah dalam kenyataan”18.
Dalam sistem hukum ini, hukum pembangunan (development) meliputi segala
tindakan dan kegiatan yang memperkuat infrastruktur hukum seperti lembaga
hukum, organisasi profesi hukum, lembaga-lembaga pendidikan hukum serta
segala sesuatunya yang berkenaan dengan penyelesaian problem khusus
“pembangunan”. Konsepsi hukum pembangunan selaras dengan orientasi baru
mengenai pengertian hukum yang dikemukakan oleh A. Vilhem Rusted yang
mengatakan bahwa hukum itu adalah the legal machinery in action yaitu sebagai
suatu kesatuan yang mencakup segala kaidah baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis, prasarana-prasarana seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Advokat dan keadaan diri pribadi daripada individu penegak hukum itu sendiri
bahkan juga fakultas hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum19.
Dengan demikian paradigma “hukum sebagai jawaban atas masalah yang timbul’
harus diubah menjadi paradigma ‘hukum yang mampu melihat ke depan’ (forward
looking) terhadap berbagai kemungkinan terjadinya kasus perdata maupun pidana
yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai akibat dibukanya dunia cyber.
Perkembangan teknologi tidak saja menumbuhkan kemajuan ekonomi, akan tetapi
pula membuka peluang bagi pelaku kejahatan untuk memanfaatkan dunia yang
menjadi seamless dan borderless. Contoh yang umum adalah relevan dengan
terjadinya peluang kejahatan seperti tindakan pencucian uang serta adanya rezim
devisa bebas yang telah dianut Indonesia sekitar tiga dekade belakangan ini.
Contoh lain adalah penerapan sistem ‘single entry’ untuk akuntasi keuangan
pemerintah yang diberlakukan ICW di satu pihak, dan dipihak lainnya adalah
kebutuhan untuk menerapkan sistem ‘double entry’ sesuai dengan Standar
keuangan Internasional. Merupakan kenyataan yang sangat menggembirakan
18 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, cetakan Kedua
LPHK FH UNPAD, Binacipta, Bandung, hlm 11
19 S. Tasrif, peranan Hukum dan Pembangunan, Primsa no. 6 Tahun ke III, 1993, hlm 5
bahwa saat ini telah terdapat penyesuaian terhadap ketentuan Perundangundangan
keuangan negara, antara lain diundangkannya UU Keuangan Negara
(2003) yang akan diikuti dengan UU Perbendaharaan Negara serta UU
Pengawasan Keuangan Negara. Kedua ketentuan yang terakhir dan masih dalam
bentuk rancangan Undang-Undang tersebut saat ini sedang dalam pembahasan
intensif antara pemerintah dan DPR yang diharapkan selesai dalam tahun 2003.
hal ini merupakan contoh responsifnya hukum terhadap kebutuhan ekonomi walau
sangat terlambat. Sebagai informasi tambahan, pembahasan konsep UU
Keuangan Negara telah digarap oleh tidak kurang 15 tim sejak sekitar 30 tahun
lalu.
2.6 Fungsi dan tujuan perbankan Indonesia
Fungsi Utama
a. Pengumpulan dana
b. Pembiayaan
c. Peningkatan faedah dari dana masyarakat
d. Penanggung resiko
Fungsi Tambahan
a. Memberikan fasilitas pengiriman uang
b. Penggunaan cek
c. Memberikan garansi bank
Selain itu bank dalam melakukan kegiatannya mempunyai beberapa tujuan antara lain
a. Tujuan Jangka Panjang
Tujuan Jangka Panjang suatu bank adalah mencari laba
b. Tujuan Jangka Pendek
Meliputi
1. Mememnuhi cadangan minimum
2. Pelayanan yang baik kepada langganan
3. Strategi dalam melakukan investasi
Fungsi Utama
a. Pengumpulan dana
b. Pembiayaan
c. Peningkatan faedah dari dana masyarakat
d. Penanggung resiko
Fungsi Tambahan
a. Memberikan fasilitas pengiriman uang
b. Penggunaan cek
c. Memberikan garansi bank
Selain itu bank dalam melakukan kegiatannya mempunyai beberapa tujuan antara lain
a. Tujuan Jangka Panjang
Tujuan Jangka Panjang suatu bank adalah mencari laba
b. Tujuan Jangka Pendek
Meliputi
1. Mememnuhi cadangan minimum
2. Pelayanan yang baik kepada langganan
3. Strategi dalam melakukan investasi
BAB III
PENUTUP
1. Terjadinya dualisme hukum sebaiknya disikapi sebagai suatu hal yang positif
dan dapat lebih memudahkan regulasi yang akomodatif dan kondusif bagi
kebutuhan bisnis dan ekonomi. Faktor penting lainnya yaitu kebijakan ekonomi
yang dilakukan oleh pemerintah dari negara-negara Asia menjadi kunci yang
diterminan bagi pergeseran dan perubahan sistem hukum di banyak negara
Asia antara 1960 hingga saat ini. Namun demikian, perpaduan sistem hukum
ini belum dapat diklaim sebagai kovergensi penuh dan total dari kedua sistem
kontinental dan Anglo Saxon, karena aspek-aspek lain yang bersifat
prosedural banyak dibentuk dari sejarah, budaya dan tradisi hukum masingmasing
negara.
2. Penerapan good corporate governance harus dilakukan penuh kesadaran atau
komitmen yang tinggi dari berbagai pihak dan kalangan. Dalam konteks
keuangan dan perbankan, hal ini akan menjadi tugas setiap elemen
perusahaan yang bergerak di sektor keuangan dan perbankan, asosiasi
keuangan dan perbankan, BPPN, dan juga Bank Sentral.
3. Perubahan paradigma tentang peran hukum, serta dari ‘hukum yang mengikuti
perkembangan ekonomi dan masyarakat’ menjadi ‘hukum yang berorientasi ke
depan yang mampu mengantisipasi dan mengakomodasi serta menjembatani
masalah hukum dan ekonomi dalam masyarakat nasional, namun juga
akomodatif dan mampu berintegrasi dengan ketentuan-ketentuan internasional
yang relevan, menjadi suatu kebutuhan yang mendesak bagi perkembangan
ekonomi dan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Industri perbankan telah mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir.Industri ini menjadi lebih kompetitif karena deregulasi peraturan. Saat ini, bank memiliki fleksibilitas pada layanan yang mereka tawarkan, lokasi tempat mereka beroperasi, dan tarif yang mereka bayar untuk simpanan deposan. Sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental
merupakan dasar bagi para penegak hukum untuk menggunakan hukum positif dari sistem Eropa Kontinental tersebut dalam membuat setiakeputusan. Namun di sisi lain, cukup banyak peraturan perundang-undangan pada sektor keuangan dan perbankan yang sangat dipengaruhi oleh sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law. Aplikasi kedua sistem hukum yang berbeda tersebut dalam hukum positif di Indonesia pada sektor keuangan dan perbankan dalam banyak hal telah mengakibatkan dis-harmoni, yang dapat terlihat dari pengaturan yang tidak konsisten satu sama lain dari kedua sistem hukum tersebut yang berpadu dalam suatu materi yang sama.Sebagai misal, dalam perdagangan surat berharga tanpa warkat (scriptlesstrading) umumnya dipergunakan aplikasi teknologi.
ijin ngutip buat tugas ya kakaks..
BalasHapusmakasih...