Peranan ekonomi kerakyatan sebagai landasan perekonomian
Di Indonesia
Nama : DESY PERMATA SARI
Npm : 34209893
Kelas : 3DD04
Tugas softskill Peranan ekonomi kerakyatan sebagai landasan perekonomian
Di Indonesia
Kata Pengantar
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya, sehingga makalah Ekonomi Kerakyatan sebagai tugas softskill ini dapat saya selesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah SoftSkill di Universitas Gunadarma.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam memberi support dalam penyelesaian makalah ini.
Akhir kata saya ucapakan banyak terima kasih.
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu gagasan ekonomi yang dalam beberapa waktu belakangan ini cukup banyak mengundang perhatian adalah mengenai 'ekonomi kerakyatan'. Di tengah-tengahhimpitan krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia, serta maraknya perbincanganmengenai globalisasi dan globalisme dalam pentas wacana ekonomi-politik dunia,kehadiran ekonomi kerakyatan dalam pentas wacana ekonomi-politik Indonesia memangterasa cukup menyegarkan. Akibatya, walau pun penggunaan ungkapan itu dalamkenyataan sehari-hari cenderung tumpang tindih dengan ungkapan ekonomi rakyat,ekonomi kerakyatan cenderung dipandang seolah-olah merupakan gagasan baru dalampentas ekonomi-polilik di Indonesia.Kesimpulan seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab, bila ditelusuri ke belakang,dengan mudah dapat diketahui bahwa perbincangan mengenai ekonomi kerakyatansesungguhnya telah berlangsung jauh sebelum Indonesia memproklamkkankemerdekaannya.
Pada mulanya adalah Bung Hatta, di tengah-tengah dampak buruk depresi ekonomi dunia yang tengah melanda Indonesia, yang menulis sebuah artikeldengan judul Ekonomi Rakyat di harian Daulat Rakyat (Hatta, 1954). Dalam artikel yangditerbitkan tanggal 20 Nopember 1933 tersebut, Bung Hatta secara jelas mengungkapkankegusarannya dalam menyaksikan kemerosotan kondisi ekonoroi rakyat Indonesia dibawah tindasan pemerintah Hindia Belanda.Yang dimaksud dengan ekonomi rakyat oleh Bimg Hatta ketika itu tentu tidak lain dariekonomi kaum pribumi atau ekonomi penduduk asli Indonesia. Dibandmgkan denganekonomi kaum penjajah yang berada di lapisan atas, dan ekonomi warga timur asing yangberada di lapisan tengah, ekonomi rakyat Indonesia ketika itu memang sangat jauh tertinggal.
Sedemikian mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan penderitaanrakyat pada masa itu, meika tahun 1934 beliau kembali menulis sebuah artikel dengannada serupa. Judulnya kali ini adalah Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya (Hatta, 1954). Dari judulnya dengan mudah dapat diketahui betapa semakin mendalamnya kegusaran BungHatta menyaksikan kemerosotan ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan pemerintahHindia Belanda.Tetapi sebagai seorang ekonom yang berada di luar pemerintahan, Bung Hatta tentu tidak bisa berbuat banyak untuk secara langsung mengubah kebijakan ekonomi pemerintah.Untuk mengatasi kendala tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Bung Hatta kecuali terjunsecara langsung ke gelanggang politik.
Dalam pandangan Bung Hatta, perbaikan kondisiekonomi rakyat hanya. mungkin dilakukan bila kaum penjajah disingkirkan dari negeriini. Artinya, bagi Bung Hatta, perjuangan merebut kemerdekaan sejak semula memangdiniatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk meningkatkankesejahteraan rakyat. Walau pun demikian, sebagai seorang ekonom pejuang, tidak berarti Bung Hatta sertamerta meninggalkan upayanya untuk memperkuat ekonomi rakyat melalui perjuanganekonomi. Tindakan konkret yang dilakukan Bung Hatta untuk memperkuat ekonomi rakyat ketika itu adalah dengan menggalang kekuatan ekonomi rakyat melaluipengembangan koperasi.
Terinspirasi oleh perjuangan kaum buruh dan tani di Eropa,Bung Hatta berupaya sekuat tenaga untuk mendorong pengembangan koperasi sebagaiwadah perjuangan ekonomi rakyat.Sebagaimana terbukti kemudian, kepedulian Bung Hatta terhadap koperasi tersebutberlanjut jauh setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Hal itu antara laindisebabkan oleh kesadaran Bung Hatta bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah strukturekonomi Indoncsia dari sebuah perekonomian yang berwatak koionial menjadi sebuahperekonomian nasional.
Sebagaimana dikemukakan Bung Karno, yang dimaksud denganckonomi nasional adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peranserta rakyat banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air(lihat Weinsten, 1976).Kesadaran-kesadaran seperti itulah yang menjadi titik tolak perumusian pasal 33 UndangUndang Dasar (UUD) 1945. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan pasal tersebut,"Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semuaunluk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebabitu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi."Dalani kutipan penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut, ungkapan ekonomi kerakyatanmemang tidak ditemukan secara eksplisit. Ungkapan konsepsional yang ditemukan dalampenjelasan Pasal 33 itu adalah mengenai 'demokrasi ekonomi'. Walaupun demikian,mengacu pada definisi kata 'kerkayatari' sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta(Hatta, 1932), serta penggunaan kata kerakyatan pada sila keempat Pancasila, tidak terlalu sulit untuk disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatansesungguhnya tidak lain dari demokrasi ekonomi sebagaimana dikemukakan dalampenjelasan pasal 33 UUD 1945 itu. Artinya, ekonomi kerakyatan hanyalah ungkapan laindari demokrasi ekonomi (Baswir, 1995).
Ekonomi Kerakyatan dan Bung Hatta.Perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi memang tidak dapat dipisahkan dari Bung Hatta. Sebagai Bapak Pendiri Bangsa dan sekaligus sebagaiseorang ekonom pejuang, Bung Hatta tidak hanya telah turut meletakkan dasar-dasarpenyelenggaraan sebuah negara merdeka dan berdaulat berdasarkan konstitusi. Beliau juga inemainkan peranan yang sangat besar dalam meletakkan dasar-dasarpenyelenggaraan perekonomian nasional berdasarkan ekonomi kerakyatan ataudemokrasi ekonomi. Bahkan, sebagai Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta lah yangsecara konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya kedaulatan ekonomirakyat dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia.
Tetapi bila ditelusuri ke belakang, akan segera diketahui bahwa persinggungan BungHatta dengan gagasan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi sekurang-kurangnyatelah dimulai sejak berlangsungnya perbincangan antara Bung Hatta dan Tan Malaka diBerlin, bulan Juli 1922. Bung Hatta ketika itu bduni genap setahun berada di negeri Belanda. Dalam perbincangan tersebut, yaitu ketika Tan Malaka mengungkapkankekecewaannya terhadap model pemerintahan diktatur yang diselenggarakan Stalin diUni Soviet, Bung Hatta serta merta menyelanya dengan sebuah pertanyaan yang sangat tajam, "Bukankah kediktaturan memang inheren dalam paham komunisme?Pertanyaan Bung Hatta tersebut ditanggapi oleh Tan Malaka dengan menjelaskan teoridiktatur proletariat yang diperkenalkan oleh Karl Marx.
Menurut Tan Malaka, diktaturproletariat sebagaimana dikemukakan oleh Marx hanya berlangsung selama periodetransisi, yaitu selama berlangsungnya pemindahan penguasaan alat-alat produksi daritangan kaum kapitalis ke tangan rakyat banyak.Selanjutya, kaum pekerja yang sebelumnya telah tercerahkan di bawah panduanperjuangan kelas, akan mengambil peran sebagai penunjuk jalan dalammembangun keadilan Hal itu akan dicapai dengan cara menyelenggarakan produksi olehsemua, untuk semua, di bawah pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat. Haltersebut jelas sangat bertolak belakang dengan diktatur personal" (Hatta, 1981).Penggalan kalimat Tan Malaka yang berbunyi "produksi oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat" itu tentu mengingatkan kita padapenggalan kalimat yang terdapat dalam penjelasan pasal 33 IJUD 1945 sebagaimanadikemukakan tadi.
Kemiripan kedua kalimat tersebut secara jelas mengungkapkan bahwapersinggungan Bung Hatta dengan konsep ekonomi kerakyatan setidak-tidaknya telahberlangsung sejak tahun 1922, sejak tahun pertama ia berada di negeri Belanda.Perkenalan pertama itu tampaknya sangat berkesan bagi Bung Hatta, sehinggamendorongnya untuk melakukan pengkajian secara mendalam. Selain membaca buku-buku sosialisme, Bung Hatta juga memperluas pergaularmya dengan kalangan PartaiBuruh Sosial Demokrat (SDAP) di Belanda. Bahkan, tahun 1925, sebagai aktivisPerhimpunan Indonesia, Bung Hatta sengaja memutuskan untuk melakukan kunjungan kebeberapa negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia. Tujuannya adalahunluk mempelajari gerakan koperasi. dari dekat (Hatta, 1981).Selepas menyelesaikan studi di Belanda, komitmen Bung Hatta terhadap ekonomikerakyatan terus berlanjut. Salah satu tulisan yang mengungkapkan konsistensi komitmenBung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan adalah pamphlet yang disusunnya untuk Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) pada tahun 1932. Dalam pamphlet yangberjudul "Menuju Indonesia Merdeka" tersebut, Bung Hatta mengupas secara panjanglebar mengenai pengertian kerakyatan, demokrasi., dan arti penting demokrasi ekonomisebagai salah satu pilar model demokrasi sosial yang cocok bagi Indonesia merdeka,Sebagaimana ditulisnya, di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong-pen.) dapatdidirikan tonggak demokrasi ekonomi.
Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecilyartg mesti menguasai penghidupan orang bariyak seperti sekarang, melainkan keperluandan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan.Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harusberdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraanBadan-badan perwakilannya," (Hatta, 1932).Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila dalam kedudukan sebagaipenyusun UUD 1945, Bung Hatta berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan ekonomikerakyatan sebagai prinsip dasar sistem perekonomian Indonesia. Hal itu pula, saya kira,yang menjelaskan mengapa setelah menjabat sebagai wakil presiden, Bung Hatta terus mendorong pengembangan koperasi di Indonesia. Berkat komitmen tersebut, sangatwajar bila tahun 1947 Bung Hatta secara resmi dikukuhkan oleh Sentral OrganisasiKoperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) sebagai Bapak Koperasi Indonesia
Krisis hutang yang melanda negara-negara periferi Eropa dan Amerika belum mencapai solusi jangka panjang. Hal ini berdampak terhadap perekonomian global dan perekonomian Indonesia, akan tetapi dampak krisis global terhadap Indonesia tidak begitu buruk dibandingkan dengan negara Malaysia dan Singapura.
Nilai tukar Rupiah terhadap dolar terdepresiasi namun masih dalam kondisi lebih baik dibandingkan bulan lalu. Krisis global juga berdampak terhadap ekonomi kerakyatan, yang terkait lebih banyak terhadap kegiatan UKM/UMKM. Ekonomi tersebut perlu didorong oleh kebijakan pemerintah seperti dengan modal yang tidak sulit, akses kredit dari bank murah namun tidak sulit didapat dan tidak perlu agunan. Akses tersebut didukung oleh teknologi dan jumlah bank di wilayah tersebut. Program ekonomi kerakyatan merupakan lending model dalam pelayanan jasa perbankan yang diikuti dengan akses jarak dan teknologi dari perbankan yang dibutuhkan oleh smua lapisan masyarakat.
Kasus yang sering terjadi dalam ekonomi kerakyatan misalnya sektor pertanian, sektor tersebut terkait irigasi untuk pertanian yang hanya 54 % dalam kondisi baik sisanya buruk dan buruk sekali. Sedangkan Indonesia sedang mencanangkan program swasembada pangan ± 4 ton/hektar. Politik anggaran terkait subsidi benih dan pupuk lebih kecil dibandingkan dengan subsidi BBM sehingga tidak mengembangkan para petani. Akan tetapi tidak ditunjang dengan kemajuan serta perbaikan sektor irigasi, sehingga produktivitas padi perlu jadi pengkajian MP3Ei terhadap sektor pertanian. Pemerintah perlu menjaga ketahanan pangan, jangan dulu menggenjot ekspor pangan karena kebutuhan pangan di domestic sangat diperlukan saat ini. Selain itu, terkait dengan penanganan ekonomi daerah bahwasanya pemerintah perlu menangani ekonomi rakyat yang didukung oleh micro finance dari bank-bank di Indonesia (bank pemerintah maupun bank swasta). Pemerintah juga harus menjaga stabilitas perekonomian kerakyatan dengan kemajuan sektor UKM, hal ini dikarenakan UKM nantinya dapat menjadi kontribusi yang cukup besar terhadap GDP dan akan menjadi basis ekonomi daerah atau ekonomi kerakyatan.
Ekonomi kerakyatan sangat berbeda dari neoliberalisme. Neoliberalisme, sebagaimana dikemas oleh ordoliberalisme, adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun di atas tiga prinsip sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961).
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
Sedangkan ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Mencermati perbedaan mencolok antara ekonomi kerakyatan dengan neoliberalisme tersebut, tidak terlalu berlebihan bila disimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah antitesis dari neoliberalisme. Sebab itu, sebagai saudara kandung neoliberalisme, ekonomi negara kesejahteraan (keynesianisme), juga tidak dapat disamakan dengan ekonomi kerakyatan. Keynesianisme memang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penciptaan kesempatan kerja penuh, namun demikian ia tetap dibangun berdasarkan prinsip persaingan bebas dan pemilikan alat-alat produksi secara pribadi (selengkapnya lihat tabel). Perlu saya tambahkan, ekonomi kerakyatan tidak dapat pula disamakan dengan ekonomi pasar sosial. Sebagaimana dikemukakan Giersch (1961), ekonomi pasar sosial adalah salah satu varian awal dari neoliberalisme yang digagas oleh Alfred Muller-Armack.
Secara ringkas, subversi-subversi yang dilakukan oleh pihak kolonial untuk mencegah terselenggaranya ekonomi kerakyatan itu adalah sebagai berikut.
Pertama, terjadinya agresi I dan II pada 1947 dan 1948. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah berdirinya NKRI yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Kedua, dipaksanya bangsa Indonesia untuk memenuhi tiga syarat ekonomi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Ketiga syarat ekonomi itu adalah: (1) bersedia menerima warisan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 milliar gulden; (2) bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF); dan (3) bersedia mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Ketiga, dilakukannya berbagai tindakan adu domba menyusul dilakukannya tindakan pembatalan KMB secara sepihak oleh pemerintah Indonesia pada 1956. Tindakan-tindakan itu antara lain terungkap pada meletusnya peristiwa PRRI/Permesta pada 1958.
Keempat, diselundupkannya sejumlah sarjana dan mahasiswa ekonomi Indonesia ke AS untuk mempelajari ilmu ekonomi yang bercorak liberal-kapitalistis sejak 1957. Para ekonom yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley ini sengaja dipersiapkan untuk mengambil alih kendali pengelolaan perekonomian Indonesia pasca penggulingan Soekarno pada 1966.
Kelima, dilakukannya sandiwara politik yang dikenal sebagai proses kudeta merangkak terhadap Soekarno pada 30 September 1965, yaitu pasca terbitnya UU No. 16/1965 pada Agustus 1965, yang menolak segala bentuk keterlibatan modal asing di Indonesia.
Keenam, dipaksanya Soekarno untuk menandatangani empat UU sebelum ia secara resmi dilengserkan dari kekuasaanya. Keempat UU itu adalah: (1) UU No. 7/1966 tentang penyelesaian masalah utang-piutang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda; (2) UU No. 8/1966 tentang pendaftaran Indonesia sebagai anggota ADB; (3) UU No. 9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank Dunia; dan (4) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
Ketujuh, dibangunnya sebuah pemerintahan kontra-revolusioner di Indonesia sejak 1967. Melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto ini, para ekonom “Mafia Berkeley” yang sejak jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS, secara sistematis berusaha membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian Indonesia dari ekonomi kerakyatan menuju ekonomi pasar neoliberal. Tindakan pembelokan orientasi tersebut didukung sepenuhnya oleh IMF, Bank Dunia, USAID, dan ADB dengan cara mengucurkan utang luar negeri.
Kedelapan, dilakukannya proses liberalisasi besar-besaran sejak 1983, yaitu melalui serangkaian kebijakan yang dikemas dalam paket deregulasi dan debirokratisasi. Kesembilan, dipaksannya Soeharto untuk menandatangani pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara terinci melalui penandatanganan nota kesepahaman dengan IMF pada 1998, yaitu sebelum ia secara resmi dipaksa untuk mengakhiri kekuasannya melalui sebuah gerakan politik yang dikenal sebagai gerakan reformasi. Perlu diketahui, dalam sejarah perekonomian Inggris, gerakan reformasi serupa dimotori antara lain oleh David Hume, Adam Smith, David Ricardo, Thomas R. Malthus, dan John S. Mill (Giersch,1961).
Kesepuluh, dilakukannya amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan pada 2002. Melalui perdebatan yang cukup sengit, ayat 1, 2, dan 3, berhasil dipertahankan. Tetapi kalimat penting yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi,” turut menguap bersama hilangnya penjelasan pasal tersebut.
Menyimak kesepuluh tindakan subversi itu, mudah dipahami bila dalam 64 tahun setelah proklamasi, sistem ekonomi kerakyatan tidak pernah berhasil diselenggaran di Indonesia. Perjalanan perekonomian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai sebuah proses transisi dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal dalam beberapa waktu belakangan ini. Bahkan, utang dalam dan luar negeri pemerintah yang pada akhir pemerintahan Soeharto berjumlah US$54 milyar, belakangan membengkak menjadi US$165 milyar.
Perlu diketahui, penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal itu antara lain tertangkap tangan melalui pembatalan seluruh atau beberapa pasal yang terdapat dalam tiga produk perundang-undangan, yang terbukti melanggar konstitusi, sebagai berikut: (1) UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan; (2) UU No. 22/2001tentang Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas); dan (3) UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Menyimak berbagai kenyataan tersebut, dapat disaksikan betapa sangat beratnya tantangan yang dihadapi bangsa Indonesai dalam melaksanakan amanat konstitusi untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan di Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan dengan era kolonial, tantangan yang ada saat ini justru jauh lebih berat. Pertama, pihak kolonial sebagai musuh utama ekonomi kerakyatan tidak hadir secara kasat mata. Kedua, berlangsungnya praktik pembodohan publik secara masif melalui praktik penggelapan sejarah sejak 1966/1967. Ketiga, terlembaganya sistem “cuci otak” yang bercorak neoliberal dan anti ekonomi kerakyatan pada hampir semua jenjang pendidikan di Indonesia.
Keempat, setelah mengalami proses pembelokan orientasi pada 1966/1967, keberadaan struktur perekonomian yang bercorak kolonial di Indonesia cenderung semakin mapan. Kelima, setelah melaksanakan agenda ekonomi neoliberal secara masif dalam 10 tahun belakangan ini, cengkeraman neokolonialisme terhadap perekonomian Indonesia cenderung semakin dalam.
Walaupun demikian, tidak berarti sama sekali tidak ada harapan. Harapan untuk kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan tersebut setidak-tidaknya dapat disimak dalam lima hal sebagai berikut. Pertama, mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni AS dari beberapa negara di Amerika Latin dan Asia dalam satu dekade belakangan ini. Yang menonjol diantaranya adalah Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin, serta Iran di Asia. Kedua, mulai terlihatnya gejala pergeseran dalam peta geopolotik dunia, yaitu dari yang bercorak unipolar menuju tripolar, sejak munculnya Uni Eropa dan kebangkitan ekonomi Cina. Ketiga, berlangsungnya krisis kapitalisme internasional yang dipicu oleh krisis kapitalisme AS sejak 2007 lalu.
Keempat, meningkatnya kerusakan ekologi di Indonesia pasca dilakukannya eksploitasi ugal-ugalan dalam rangka neokolonialisme dan neoliberalisme dalam 40 tahun belakangan ini. Dan kelima, meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian Indonesia.
Pertanyaannya adalah, tindakan jangka pendek, jangka menengah , dan jangka panjang apa sajakah yang perlu dilakukan untuk memastikan berlangsunya suatu proses kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan dimasa datang? Untuk memperoleh jawaban yang akurat, terutama untuk jangka menengah dan jangka panjang, tentu diperlukan suatu pengkajian dan diskusi yang cukup luas. Tetapi untuk jangka pendek, terutama bila dikaitkan dengan akan segera berlangsungnya proses pemilihan presiden pada Juli mendatang, jawabannya mungkin bisa dirumuskan secara lebih sederhana. Dengan mengatakan hal itu tidak berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan sangat tergantung pada siklus lima tahun pergantian kepemimpinan nasional. Ada atau tidak ada pergantian kepemimpinan nasional, perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan harus tetap berlanjut. Namun demikian, siklus pergantian kepemimpinan nasional harus dimanfaatkan secara optimal sebagai momentum strategis untuk mempercepat proses kebangkitan kembali tersebut.
Singkat kata, dalam rangka mempercepat kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan, adalah kewajiban setiap patriot ekonomi kerakyatan untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih bukanlah pasangan calon pemimpin yang secara jelas mengimani dan mengamalkan neoliberalisme. Dukungan yang lebih besar harus diberikan kepada pasangan calon pemimpin yang secara jelas dan tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
setelali berakhimya kekuasaan Soeharto, mereka berusaha sekuat tenaga untuk memilikiarena bermain yang lebih leluasa untuk mengekploitasi dan menguras kekayaanIndonesia.Celakanya, Orde Baru telah mewariskan utang luar negeri yang sangat besar jumlahnyaterhadap rakyat Indonesia. Bahkan, untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia darikehancuran yang lebih drastis, Soeharto telah secara resmi mengundang IMF untuk menjadi 'dokter penyelamat' perekonomian Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia yangterlanjur terjebak dalam perangkap utang luar negeri sebesar hampir 130 milyar dolar ASitulah terutama yang dicoba dimanfaatkan oleh jaringan kekuatan modal internasionaluntuk memaksakan penyelenggaraan sistem ekonomi kapitalis neoliberal di negeri ini.
Sebagaimana berlangsung beberapa tahun belakangan ini, menyusul penanda tangananletter of intent (LOI) oleh pemerintah Indonesia, negeri ini dipaksa oleh IMF untuk menyelenggarakan sejumlah agenda kapitalisme neoliberal yang dikenal sebagai paketprogram penyesuaian struktural (structural adjustment program). Pelaksanaan paketprogram penyesuaian struktural yang dikenal pula sebagai paket kebijakan Konsensus -Washington itulah yang kita saksikan melalui pelaksanaan kebijakan uang ketat danpenghapusan subsidi, liberalisasi keuangan dan perdagangan, serta dalam pelaksanaanprivatisasi BUMN di Indonesia.
Di tengah-tengah situasi perekonomian Indonesia yang tengah menjadi ajang rebutanantara oligarki kekuatan kapitalisme perkoncoan Orde Baru dan kekuatan kapitalismeinternasional itu, jelas tidak ada pilihan lain bagi rakyat Indonesia, kecuali segeramerapatkan barisan untuk memperjuangkan penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatansecepatya. Amanat Ketetapan Majelas Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) No.IV/1999) untuk menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan, harus benar-benardimanfaatkan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk mewujudkan sistem ekonomikerakyatan secepatya.
1. Agenda Ekonomi Kerakyatan
Dalam rangka ilu, agar ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada tingkat wacana,sejumlah agenda kongkret ekonomi kerakyatan harus segera diangkatkepermukaan. Dalam garis besarnya terdapat tujuhi agenda pokok ckonomi kerakyatanyang perlu mendapat perhatian. Ketujuhnya adalah inti dari politik ekonomi kerakyatandan merupakan titik masuk untuk menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan dalam jangka panjang.Pertama, memperjuangkan penghapusan sebagian utang luar negeri Indonesia sebagaiupaya untuk mengurangi tekanan terhadap belanja negara dan neraca pembayaran.Penghapusan utang luar negeri terutama perlu dilakukan terhadap utang luar negeri yangtergolong sebagai utang najis (odious debt), yaitu utang luar negeri yang prosespembuatannya sarat dengan manipulasi para kreditur, sedangkan pemanfaatannyacenderung diselewengkan oleh para pejabat yang berkuasa untuk memperkaya dirimereka sendiri (Adam.)
Selanjutnya, pembuatan utang luar negeri baru perlu dihentikan, sebab selain ini ia lebihbanyak ditujukan untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran dan òmembangunberbagai proyek yang bersifat memfasilitasi penanaman modal asing di sini. Selain tidak bermanfaat bagi peningkatan kemakmuran rakyat, pembuatan utang luar negeri baru hanya akan menyebabkan semakin dalamnya perekonomian Indonesia terpuruk ke dalamperangkap utang.Kedua, meningkatkan disiplin pengelolaan keuangan negara dengan tujuan untuk memerangi KKN dalam segala dimensinya. Salah satu tindakan yang perlu diprioritaskandalam hal ini adalah penghapusan dana-dana non-bujeter yang lersebar secara meratapada hampir semua instansi pemerintah.
Melalui peningkatan disiplin pengelolaankeuangan negara ini, diharapkan tidak hanya dapat diketahui volume pendapatan danbelanja negara yang sesungguhnya, tetapi nilai tambah dari berbagai komponen keuangannegara itu terha'dap peningkatan kilalitas pelayanan publik dapat ditingkatkan pula.Sehubungan dengan itu, peranan negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasionalsebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945, wajib dipertahankan. Perananekonomi negara tidak hanya terbatas sebagai pembuat dan pelaksana peraturan. Melaluipengelolaan keuangan negara yang disiplin, negara selanjutya memiliki kewajiban dalammemenuhi hak-hak dasar ekonomi setiap warga negara.
Prioritas peranan negara dalamhal ini adalah dalam menanggulangi kemiskinan, menyediakan peluang kerja, danmeningkatkan kualitas pelayanan publik bagi setiap anggota masyarakat.Ketiga, mendemokratisasikan pengelolaan BUMN. Sebagaimana diketahui pengelolaanBUMN selama ini cenderung didominasi oleh para pejabat pemerintah pusat. Dominasipara pejabat pemerintah ini tidak hanya berakibat pada buruknya kualitas ò pelayananBUMN, tetapi teratama berdampak pada berubah BUMN menjadi objek sapi perah parapenguasa.
Dengan latar belakang seperti itu, alih-alih tumbuh menjadi badan usahameringankan beban keuangan negara, BUMN justru hadir sebagai badan usaha yangmenggerogoti keuangan negara.Untuk mengakhiri hal itu, solusinya bukanlah dengan melakukan privatisasi BUMN,tetapi dengan mendemokratisasikan pengelolaannya. Tiga hal yang perlu dilakukandalam hal ini adalah sebagai berikut. Pertama, otonomi penyelenggaraan BUMN daribirokrasi pemerintahan, yaitu dengan melimpahkannya kepada sebuah badan otonomyang secara khusus dibentuk sebagai penyelenggara BUMN.
Kedua, peningkatan perananserikat pekerja dalam penyelenggaraan BUMN, baik dengan secara langsungmengikutsertakan pekerja sebagai pemilik saham BUMN, atau raemberi hak suarakepada. para pekerja BUMN melalui penerbitan Undang Undang. Ketiga, khusus bagiBUMN yang bergerak dalam bidang eksplorasi sumberdaya alam, keikutsertaanpemerintah daerah dalam kepemilikan perlu dipertimbangkan (Baswir, 2003}.Keempat, peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara dari pemerintah pusatkepada pemerintah daerah. Hal ini terutama harus diselenggarakan dengan melakukanpembagian pendapatan (revenue and tax sharring), yaitu dengan memberikan hak kepadapemerintah daerah untuk turut secara langsung dalam pengumpulan berbagai jenis pajak yang selama ini dimonopoli oleh pemerintah pusat Bahkan, untuk jenis-jenis pajak terteritu seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), hak pungut sebaiknya langsung .diserahkan kepada pemerintah daerah.Kelima, pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar para pekerja serta peningkatanpartisipasi para pekerja dalam penyelenggaraan perusahaan.
Sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, setiap warga negara Indonesia tidak hanya berhak mendapatkanpekerjaaan, tetapi juga berhak mendapatkan penghidupan yang layak bordasarkankemanusiaan. Dalam rangka itu, peningkatan partisipasi pekerja dalam penyelenggaraanperusahaan (demokrasi di tempat kerja), yang antara lain dapat dimulai denganmenyelenggarakan program kepemilikan saham bagi para pekerja (employee stock optionprogram), adalah bagian integral dari proses pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasarpara pekerja tersebut.Keenam, pembatasan penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada parapetani penggarap.
Penguasaan lahan pertanian secara berlebihan yang dilakukan olehsegelintir pejabat, konglomerat, dan petani berdasi sebagaimana berlangsung saat iniharus segera diakhiri. Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA1960, negara berhak mengatur peruntukan, penggunaan, persediaaan, dan pemeliharaanlahan pertanian bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hasil pengambilalihan lahanpertanian ini, ditambah dengan ribuan hektar lahan pertanian di bawah penguasaannegara lainnya, harus diredistribusikan kembali kepada para petani penggarap yangmemang menggantungkan kelangsungan hidup segenap anggota keluarganya darimengolah lahan pertanian.Ketujuh, pembaharuan UU koperasi dan pembentukan koperasi-koperasi sejati dalamberbagai bidang usaha dan kegiatan.
Koperasi sejati tidak sama dengan koperasi'persekutuan majikan' ala Orde Baru yang kennggolaannya bersifat tertutup dan dibatasipada segelintir pemilik modal sebagaimana saat ini banyak terdapat di Indonesia (Baswir,2000). Koperasi sejati adalah koperasi yang modalnya dimiliki secara bersama-sama olehseluruh konsunien dan karyawan koperasi itu. Dengan kata lain, koperasi sejati adalahkoperasi yang tidak mengenal diskriminasi sosial, agama, ras, dan antar golongan dalammenentukan kriteria keanggotaamya. Dengan berdirinya koperasi-koperasi sejati,pemilikan dan pemanfaatan modal dengan sendirinya akan langsung berada di bawahkendali anggota masyarakat.Sebagai penutup perlu dikemukakan bahwa peningkatan kesejahteraan rakyat dalamrangka sistem ekonomi kerakyatan, berbeda dari kebiasaan selama ini, tidak didasarkanpada paradigma lokomotif. Tetapi berdasarkan paradigma fondasi. Artinya, peningkatankesejahteraan rakyat dalam rangka sistem ekonomi kerakyatan tidak lagi bertumpu padadominasi pemerintah pusat, pasar ekspor, modal asing, dan dominasi perusahaan-perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, sumberdayadomestik, partisipasi para pekerja, usaha pertanian rakyat, serta pada pengembangankoperasi sejati, yaitu yang berfungsi sebagai fondasi penguatan dan peningkatankedaulatan ekonomi rakyat.
Di tengah-tengah situasi perekonomian dunia yang dikuasai oleh kekuatankapitalisme kasino seperti saat ini, kekuatan pemerintah daerah, sumberdaya dan pasardomestik, partisipasi para pekerja, usaha-usaha pertanian rakyat, serta jaringan koperasisejati, sangat diperlukan sebagai fondasi tahan gempa keberlanjutan perekonomianIndonesia. Di atas fondasi ekonomi tahan gempa itulah selanjutya sistem ekonomikerakyatan yang berkeadilan, partisipatif, dan berkelanjutan akan diselenggarakan.Dengan melaksanakan ketujuh agenda ekonomi kerakyatan tersebut, inudah-mudahanbangsa Indonesia tidak hanya mampu keluar dari krisis, tetapi sekaligus mampu mewujudkan masyarakat yang adil-makmur sebagaimana pernah dicita-citakan oleh paraBapak Pendiri Bangsa
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat.Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
Secara ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat local dalam mengelola lingkungan dan tanah
mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup
masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada.
Gagasan ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari para ahli ekonomi Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh negara negara berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan. Penerapan teori pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara negara kawasan Eropa
ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda. Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada manusia pelakunya.
2. Tinjauan Konseptual ”Ekonomi Kerakyatan”
Konsep “ekonomi kerakyatan” atau adakalanya disebut “ekonomi rakyat” yang kini dikenal luas telah menapaki jalan panjang yang berliku. Selain Bung Hatta, beberapa pemikir yang belakangan gencar memperkenalkan dan memperjuangkan “ekonomi kerakyatan” antara lain adalah Mubyarto, Kwik Kian Gie, dan kemudian meluas dalam kalangan LSM. Meski demikian, eksistensi konsep ekonomi rakyat sebagai suatu kebijakan resmi pemerintah hingga kini timbul tenggelam karena ketidakpastian komitmen rezim yang berkuasa.
Dari sisi etimologis, menutut Mubyarto, ekonomi rakyat bukan berasal dari dua kata yang terpisah, yakni “ekonomi” dan “rakyat” tetapi muncul sebagai lawan dari “ekonomi konglomerat”. Intinya, ekonomi rakyat adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 UUD 45 dan sila ke empat Pancasila (Bobo, 2003). Artinya, rakyat harus berpartisipasi penuh secara demokratis dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi dan tidak menyerahkan begitu saja keputusan ekonomi kepada kekuatan atau mekanisme pasar. Ukuran apakah sistem ekonomi rakyat telah dijalankan atau tidak, terletak pada implementasinya dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. Dalam ekonomi rakyat, aturan mainnya adalah keadilan ekonomi, yaitu aturan main tentang ikatan-ikatan ekonomi yang didasarkan pada etika. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial dalah sebagai berikut :
• berdaulat di bidang politik
• mandiri di bidang ekonomi
• berkepribadian di bidang budaya
• penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi
• pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural
• pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
3. Sekilas tentang Sistem Ekonomi Kerakyatan
Jika kita mengacu pada Pancasila dasar negara atau pada ketentuan pasal 33 UUD 1945, maka memang ada kata kerakyatan tetapi harus tidak dijadikan sekedar kata sifat yang berarti merakyat. Kata kerakyatan sebagaimana bunyi sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang artinya tidak lain adalah demokrasi ala Indonesia. Jadi ekonomi kerakyatan adalah (sistem) ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi atau (sistem) ekonomi yang demokratis termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:
“Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut:
“Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)”
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.
Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Memang sangat disayangkan bahwa penjelasan tentang demokrasi ekonomi ini sekarang sudah tidak ada lagi karena seluruh penjelasan UUD 1945 diputuskan MPR untuk dihilangkan dengan alasan naif, yang sulit kita terima, yaitu “di negara negara lain tidak ada UUD atau konstitusi yang memakai penjelasan.
4. Tujuan yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan
• Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
• Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
• Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
• Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional
• Tersedianya peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota masyarakat
• Terselenggaranya sistem jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan, terutama fakir miskin dan anak-anak terlantar.
• Terdistribusikannya kepemilikan modal material secara relatif merata di antara anggota masyarakat.
• Terselenggaranya pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi setiap anggota masyarakat.
• Terjaminnya kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat-serikat ekonomi.
5. Sistem Ekonomi Kerakyatan
Sistem ekonomi kerakyatan berlaku di Indonesia sejak terjadinya Reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Pemerintah bertekad melaksanakan sistem ekonomi kerakyatan dengan mengeluarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa sistem perekonomian Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan. Pada sistem ekonomi kerakyatan, masyarakat memegang aktif dalam kegiatan ekonomi, sedangkan pemerintah menciptakan iklim yang sehat bagi pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha. Sistem ekonomi kerakyatan mempunya iciri-ciri berikut ini:
o Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan yang sehat.
o Memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas hidup.
o Mampu mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
o Menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja.
o Adanya perlindungan hak-hak konsumen dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat.
Ekonomi Kerakyatan merupakan amanat konstitusi Undang-Undang 1945. Jika didefinisikan, ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang menekankan pada keadilan dalam penguasaan sumberdaya ekonomi, proses produksi dan konsumsi. Dalam ekonomi kerakyatan ini kemakmuran rakyat lebih diutamakan daripada kemakmuran individu. Sedangkan Ekonomi Rakyat adalah kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ia disebut sektor informal, “underground economy“, atau “extralegal sector“.
Ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Hendaknya, perubahan paradigm tersebut dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan.
Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya political will, tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri.
Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud.
Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material. Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy.
Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi di sekelilingnya.
Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai tahapan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangannya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat.Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru
6. Pelaku Utama dalam Sistem Perekonomian Indonesia
Sistem ekonomi kerakyatan sendi utamanya adalah UUD 1945 pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (1) adalah koperasi, dan bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (2) dan (3) adalah perusahaan negara. Adapun dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan seorang”. Hal itu berarti perusahaan swasta juga mempunyai andil di dalam sistem perekonomian Indonesia. Dengan demikian terdapat tiga pelaku utama yang menjadi kekuatan sistem perekonomian di Indonesia, yaitu perusahaan negara (pemerintah), perusahaan swasta, dan koperasi. Ketiga pelaku ekonomi tersebut akan menjalankan kegiatan-kegiatan ekonomi dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebuah sistem ekonomi akan berjalan dengan baik jika pelaku-pelakunya dapat saling bekerja sama dengan baik pula dalam mencapai tujuannya. Dengan demikian sikap saling mendukung di antara pelaku ekonomi sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan ekonomi kerakyatan.
7. Ekonomi kerakyatan dapat menjadi alternative
Hingga saat ini definisi atau batasan usaha kecil dan menengah belum ada pembahasan yang tuntas, sebab tinjauan dari segi kriteria, baik yang menyangkut modal dan jumlah tenaga kerja berbeda-beda. Namun ada beberapa pendekatan untuk membuat batasan usaha kecil, dimana pada garis besarnya pendekatan itu dapat dilakukan secara kuantitatif dan manajemen.
Dari sudut kuantitatif biasanya jumlah tenaga kerja berkisar pada 5 – 20 orang, sedangkan dari segi modal, maka modal bersih atau harta perusahaan bisa mencapai 600 juta dan dari sisi omset atau penerimaan penjualan biasanya sampai RP 50 juta perbulan. Sementara tingkat teknologi yang digunakan oleh usaha kecil, menengah dan koperasi pada umumnya adalah teknologi rendah sampai sedang.
Dari sudut manajemen berarti bahwa pengelolaan usaha kecil belum menunjukkan adanya spesialisasi fungsi-fungsi manajemen secara terpisah (PPM;1997).
Dalam Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil pasal 1 ayat 1 (satu) dikatakan, bahwa usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana di atur dalam undang-undang ini. Sedangkan ayat 2 (dua) memuat pengertian usaha menengah dan besar yakni kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar daripada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan usaha kecil.
Pasal 5 ayat 1 (a) dinyatakan bahwa kekayaan bersih yang dimiliki usaha kecil paling banyak adalah Rp 200 juta dan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 milyar.
Dari beberapa definisi yang telah diungkapkan di atas, pada hemat penulis yang dimaksud dengan usaha kecil adalah suatu kegiatan ekonomi skala kecil yang mempunyai tenaga kerja berkisar antara 5 sampai dengan 20 orang dengan omset tahunan sekitar Rp 600 juta sampai dengan Rp 1 milyar, dan modalnya rata-rata Rp 200 juta – Rp 600 juta dengan tingkat teknologi yang relatif sederhana dan belum memfungsikan pilar-pilar manajemen secara terspesialisasi.
Sedangkan usaha menengah menurut BPS (1997) dalam Ringkasan Eksekutif Industri besar dan sedang adalah kegiatan ekonomi yang jumlah tenaga kerjanya berkisar antara 20 sampai dengan 99 orang. Dan tentu saja menurut hemat penulis omset dan modalnya lebih besar dari usaha kecil, tingkat teknologinya lebih baik dan mengarah pada terspesialisasinya fungsi-fungsi manajemen (marketing, produksi, SDM dan finance).
Biasanya usaha kecil seringkali diidentikkan dengan idiom ekonomi kerakyatan, namun pengertian ekonomi kerakyatan masih rancu dan cenderung disamakan artinya dengan ekonomi rakyat. Padahal istilah ekonomi kerakyatan atau sering disebut sebagai demokrasi ekonomi bukan merupakan sebutan yang baru di Indonesia. Istilah ekonomi kerakyatan sendiri secara resmi tertulis dalam satu paragraf pasal 33 UUD 1945. Dimana dalam pasal 33 tersebut tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Dari pengertian di atas, dapat diterjemahkan bahwa sebenarnya pelibatan semua elemen masyarakat dalam aktivitas usaha menjadi suatu keharusan, yakni produksi yang notabene selama ini banyak dikerjakan oleh beberapa kelompok saja. Dalam paragraf tersebut jelas-jelas dinyatakan yaitu diharuskan kepemilikannya pada anggota-anggota masyarakat. Ini juga berarti bahwa pencerminan distribusi dan hasil-hasil proses produksi dari aktivitas usaha tersebut bertujuan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran orang seorang yang selama ini terjadi pada berbagai perusahaan baik swasta (besar dan konglomerat) maupun negri (BUMN).
Dalam penggalan akhir paragraf tersebut dinyatakan bahwa bangun perusahaan yang sesuai adalah koperasi. Berarti sistem yang hendak dibangun dalam konteks ekonomi kerakyatan adalah koperasi, sebab koperasi merupakan sokoguru perekonomian nasional.
Pengamat Ekonomi Umar Juoro (1999) mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang mencakup konsep, kebijakan, dan strategi pengembangannya. Ini artinya bahwa ekonomi kerakyatan bukan sekadar hal yang bersifat parsial dan karikatif, namun lebih kepada tatanan atau konstruksi menyeluruh antara satu dengan lainnya yang disebut oleh Umar juoro sebagai sistem. Ini juga menandakan bahwa karena ekonomi kerakyatan merupakan sistem, sehingga di dalamnya terkandung terminologi, gagasan atau ide-ide, kebijakan dan strategi yang dapat dilaksanakan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan semula.
Masyhuri mengutip Pakar Ekonomi Kerakyatan Mubyarto (1998:132) mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi (demokrasi) yang dioperasionalisasikan melalui pemihakan dan perlindungan penuh pada sektor ekonomi rakyat (kecil). Selanjutnya pada bagian lain, Mubyarto (1998:100) mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang didasarkan pada sila ke-4 pancasila yakni ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”.
Definisi yang diungkapkan oleh Mubyarto tersebut, menurut hemat penulis mengandung tekanan yang lebih jelas, yakni kata pemihakan dan perlindungan pada sektor ekonomi rakyat. Ini mengindikasikan bahwa selama ini juga ada pemihakan dan perlindungan, sayangnya pemihakan tersebut ditujukan bagi kalangan ekonomi besar (konglomerat) dengan dukungan fasilitas dari birokrasi. Begitu pula perlindungan bagi mereka berupa berbagai proteksi dan tax holiday.
Dari definisi tersebut bila mengacu pada sila ke –4, maka demokrasi ekonomi yang hendak dibangun itu harus diimplementasikan dengan cara-cara santun, toleran, kebersamaan dan dalam kerangka perwakilan secara musyawarah dan mufakat. Kata perwakilan bisa diartikan bahwa dewan perwakilan rakyat (DPR) yang merupakan penjelmaan dari rakyat seharusnya berperan serta dan aktif mengambil bagian untuk memikirkan hal ini. Namun pada realitanya bentuk perwakilan ini sering tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dari pemaparan dan definisi tersebut, penulis mencatat ada beberapa kata kunci dalam pengertian ekonomi kerakyatan. Pertama pengertian ekonomi kerakyatan tidak sama dengan ekonomi rakyat. Kedua, ekonomi kerakyatan adalah suatu jargon yang sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia dan merupakan satu kesatuan sistem yang di dalamnya terkandung strategi, kebijakan, regulasi dan implementasi. Ketiga, ekonomi kerakyatan diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat dan bukan kesejahteraan segelintir orang ataupun kelompok. Keempat, ekonomi kerakyatan membutuhkan political will pemerintah berupa pemihakan dan perlindungan bagi jaminan terselenggaranya aktivitas secara berkesinambungan di seputarnya.
Seperti di singgung di atas, khususnya poin pertama bahwa ekonomi kerakyatan berbeda pengertiannya dengan ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat menurut Mubyarto dalam Masyhuri (1996:150) ekonomi rakyat adalah cara-cara rakyat bekerja atau mencari nafkah untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Misalnya bagaimana membuka peluang bidang usaha bagi pedagang kaki lima dan usaha kecil lainnya untuk mendapatkan ruang gerak bagi kesinambungan usahanya.
Umar Juoro (1999) mendefiniskan ekonomi rakyat sebagai pelaku ekonomi yaitu rakyat sendiri baik dalam bentuk koperasi, usaha menengah, usaha kecil maupun usaha gurem (usaha besar tidak termasuk ekonomi rakyat).
Baik Umar dan Mubyarto ‘bersepakat’ bahwa pelaku ekonomi untuk mencari nafkah yakni rakyat sendiri. Hanya saja menurut pendapat Mubyarto bangun usaha yang sesuai cenderung pada koperasi sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, sedangkan Umar berpendapat bahwa bangun usahanya tidak saja koperasi namun usaha-usaha lain, kelas menengah dan kelas gurem juga termasuk di dalamnya. Secara ringkas Masyhuri (2000:151) menyatakan bahwa ekonomi rakyat adalah ekonomi usaha kecil dan Gurem (UKG).
Dari pengungkapan pengertian ekonomi rakyat tersebut, menurut hemat penulis pada prinsipnya pengertian ekonomi rakyat adalah aktivitas ekonomi yang pelaku-pelakunya adalah rakyat sendiri dan bentuk usahanya masih dalam kapasitas yang relatif kecil sampai menengah dengan bangun usaha baik koperasi atau usaha kecil dan menengah lainnya. Sarbini Sumawinata dalam bukunya Politik Ekonomi Kerakyatan (2004,22) mengatakan bahwa, ekonomi kerakyatan adalah pelaksanaan strategi pembangunan berdasarkan pembagian merata dan meluas dalam kesempatan berusaha. Dengan penyebaran secara luas, baik secara horizontal (meliputi seluruh wilayah) maupun vertikal (daerah perkotaan maupun khususnya pedesaan), investasi-investasi dalam segala usaha yang produktif dan efisien, terciptalah fondasi yang kuat bagi keadilan dan pemerataan.
Melalui investasi di bidang barang dan jasa, termasuk bidang pendidikan, spiritual dan kebudayaan, didukung penyebarluasan tenaga listrik dan infrastruktur (transportasi dan komunikasi), terpampanglah landasan bagi kegiatan yang dapat mengikutsertakan secara aktif seluruh lapisan masyarakat pada usaha-usaha di semua segi kehidupan masyarakat. Berbeda dengan metode welfare state di Eropa Barat dan Amerika Serikat, dimana metode tersebut mengutamakan membagi kembali sebagian hasil produksi kepada mereka yang kurang beruntung. Ekonomi kerakyatan lebih menekankan kepada pembagian kesempatan, yang berarti membagi rata pengikut sertaan seluruh masyarakat pada kegiatan ekonomi, sosial dan politik.
Lebih lanjut Sarbini Sumawinata (2004;22-23) menjelaskan, terdapat perbedaan gagasan dasar antara kapitalisme dan kerakyatan. Gagasan dasar kapitalisme bersifat eksklusif, yakni mengeluarkan sebagian dari masyarakat yang dianggap tidak mampu ikut serta dalam pengejaran kemampuan dan pencapaian keuntungan yang maksimal. Sedangkan kerakyatan dasarnya adalah suatu ideologi yang bersifat inklusif, yakni mengikutsertakan secara aktif masyarakat di semua kegiatan. Inklusivitas kerakyatan ini belaku juga dalam bidang politik. Dengan demikian, ideologi kerakyatan mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan persoalan masyarakat sendiri.
Di negara-negara kapitalis, terjadi pemerataan di bidang politik atas dasar one man one vote. Akan tetapi, bidang ekonomi bersifat survival of the fittest. Di dalam masyarakat modern, hal ini terjadi dalam bentuk penganggur-penganggur. Orang-orang yang dianggap tidak mampu mengejar efisiensi dan produktivitas terpelanting ke pinggir sebagai penganggur. Inilah proses eksklusivisme yang melekat pada kapitalisme. Pada mulanya pengangguran dianggap perkecualian dan tidak terlalu mengganggu. Namun, dalam dua dekade terakhir ini negara-negara Eropa Barat dan Jepang dilanda jumlah pengangguran yang sangat besar (lebih dari 10 %). Keadaan ini bertahan lebih dari dua dekade dan merupakan tanda kegagalan dan kelemahan kapitalisme yang makin lama makin cukup serius.
Sebagian hasil produksi tidak diberikan kepada orang-orang yang tidak berperan dalam pembangunan, melainkan secara merata membangun kemampuan rakyat agar mampu menciptakan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dalam bentuk investasi. Setiap investasi berarti penciptaan pekerjaan dan penyediaan alat-alat produksi, baik perangkat keras dan lunaknya. Jadi, investasi meningkatkan kemampuan masyarakat, dengan terciptanya ketrampilan di samping menyediakan alat-alatnya untuk memungkinkan berproduksi.
Tidak mengherankan, kalau krisis global saat ini harus kembali kepada pasar domestik. Kebetulan pemain domestik boleh dibilang banyak didominasi oleh industri kerakyatan atau UKM. Jadi wajar saja bila UKM bisa menajdi penyelamat krisis.
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Q.S. 17 Al Israa’: 16)
8. Krisis Moneter Mengembangkan Keuangan Mikro
Sejak terjadinya krisis moneter (krismon) yang berakibat langsung pada ditutupnya 16 bank swasta nasional tanggal 1 Nopember 1997, lembaga keuangan mikro berkembang pesat, terutama di perdesaan. BRI yang merupakan lembaga keuangan mikro terbesar di Indonesia yang memiliki 3.825 unit-unit desa di seluruh Indonesia berkembang luar biasa. Di Propinsi DIY jumlah penabung bertambah rata-rata 16,2% per tahun selama 1997 – 2002 dari 457.496 menjadi 950.978 orang. Dan dana tabungan meningkat 26,3% per tahun dari Rp.263 milyar menjadi Rp.788 milyar (tabel 2), berarti setiap orang memiliki tabungan di BRI sebesar Rp. 828.368,-. Penduduk Propinsi DIY tahun 2002 adalah 3,1 juta orang.
Demikian data-data mikro dari lapangan ini, yang tidak pernah dilihat dan dianalisis oleh para ekonom makro, menunjukkan betapa keliru kesimpulan telah “hancur leburnya” ekonomi Indonesia. Ekonomi rakyat Indonesia tidak pernah mengalami krisis serius meskipun sempat kaget, sehingga tidak memerlukan pemulihan. Kesan masih adanya “krisis ekonomi” sekarang ini sengaja ditiupkan dan dibesar-besarkan oleh eks-konglomerat dan para pembelanya termasuk teknokrat. Konglomerat ingin melepaskan diri dari kewajiban membayar utang pada bank-bank pemerintah (BLBI dan obligasi rekap). Masyarakat dan pers kita hendaknya waspada dalam hal ini. Sebaiknya kita tidak ikut-ikutan berbicara tentang pemulihan ekonomi (economic recovery) jika yang akan kita pulihkan justru kondisi ekonomi sangat timpang “pra-krisis” yang dikuasai konglomerat dan menjepit ekonomi rakyat.
Keuangan Mikro bukan hal baru bagi Indonesia. Yang baru adalah kesadaran dan pengakuan tentang peranan besar yang dimainkannya dalam perekonomian rakyat dan perekonomian nasional.
Kenyataan ini mempunyai implikasi besar terhadap teori tentang peranan modal nasional dan upaya-upaya penguatannya dalam pembangunan ekonomi bangsa. Jika ada pakar ekonomi asing mengatakan “the only way for Indonesia’s economic recovery is mass capital inflow from abroad”, maka jelas kami menolak fatwa yang cenderung “ngawur” tersebut.
Fakta tentang peranan besar keuangan mikro dalam perekonomian nasional hendaknya menyadarkan pemerintah tentang perlunya mengkaji ulang teori ekonomi perbankan modern. Kesediaan pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar Rp.650 trilyun untuk “menyelamatkan perbankan modern”, yang bunganya sangat memberatkan APBN, jelas merupakan kebijakan keliru yang tidak berpihak pada kebijakan pengembangan keuangan mikro dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
9. Ekonomi Rakyat sebagai Penyelamat Ekonomi Nasional
Jika Ahmad Syafii Ma’arif dan Franz Magnis-Suseno (2003) berbicara keras tentang kerusakan bangsa Indonesia yang “hampir sempurna”, sehingga tinggal tunggu waktu dibawa masuk jurang, maka dilihat dalam perspektif ekonomi diartikan bahwa krisis ekonomi dewasa ini sudah amat parah, yang jika dibiarkan pasti akan mengakibatkan kebangkrutan perekonomian nasional. Meskipun orang tidak pernah lupa menyebutkan bahwa krisis yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini sudah berciri multidimensi, tokh yang paling sering disebutkan di media massa adalah sebagai krisis ekonomi, bukan krisis politik, krisis hukum, atau krisis moral. Sebabnya tidak lain karena selama 3 dekade Orde Baru, pembangunan ekonomi sudah menjadi “agama”, dengan peranan yang amat dominan dari (perusahaan-perusahaan) konglomerat.
Kini ketika konglomerat sudah rontok, yang sulit dibayangkan untuk bangkit kembali karena utang-utang yang sangat besar, maka ekonomi Indonesia secara keseluruhan dikatakan sudah dalam keadaan krisis parah.Bahwa ekonomi nasional dianggap masih dalam kondisi krisis, faktor-faktornya antara lain adalah kurs dollar yang masih 3 kali lebih tinggi dibanding sebelum krisis moneter Juli 1997, bank-bank masih belum mengucurkan kredit ke sektor riil, dan pemerintah terperangkap dalam beban utang dalam dan luar negeri yang sangat berat. Benarkah faktor-faktor ini cukup? Mengapa inflasi yang sudah benar-benar terkendali sejak 1999 yang kini (2003) berada sekitar 6%, dan pertumbuhan ekonomi yang sudah positif (3-4% pertahun), tidak dianggap sebagai faktor-faktor yang seharusnya tidak lagi menggambarkan kondisi krisis ekonomi? Ekonomi yang krisis adalah ekonomi yang pertumbuhannya terus-menerus negatif dan inflasi merajalela lebih dari 50% per tahun.
Memang pakar-pakar ekonomi makro kita pada umumnya masih mampu berargumentasi dan menunjuk belum adanya investasi terutama investasi asing sebagai salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi rendah. “Jika pertumbuhan ekonomi hanya ditopang oleh konsumsi maka pertumbuhan ekonomi tidak akan berkelanjutan”, kata mereka. Benarkah?
Diagnosis ekonomi yang bersifat pesimistik masih jauh lebih kuat dibanding diagnosis optimistik, karena pada umumnya pakar-pakar ekonomi kita lebih banyak menggunakan data-data makro sekunder dan tersier di bidang keuangan. Sebaliknya data-data mikro sektor ekonomi rakyat, yang memang tidak tercatat dalam statistik, tidak pernah masuk dalam perhitungan. Inilah yang oleh para ekonom makro yang keblinger disebut dengan ekonomi illegal atau hidden economy.
Ekonomi rakyat di manapun di daerah-daerah benar-benar sudah bangkit, tidak sekedar menggeliat. Usaha-usaha ekonomi rakyat yang disebut (secara tidak tepat) sebagai UKM (Usaha Kecil Menengah) berkembang di mana-mana dengan pendanaan mandiri atau melalui dana-dana keuangan mikro seperti pegadaian, koperasi atau lembaga-lembaga keuangan mikro “informal” di perdesaan. Misalnya, selama 1995-2002 kredit yang disalurkan Perum Pegadaian meningkat dengan 5,6 kali (560%), dan jumlah orang yang menggadaikan (nasabah) naik 368% (Tabel 2). Di Yogyakarta, anggota KOSUDGAMA (Koperasi Serba Usaha Dosen-dosen Gadjah Mada) yang kini beranggota 5332 orang (74% diantaranya anggota luar biasa, bukan dosen UGM), anggotanya meningkat lebih dari 5 kali lipat selama periode krisis (1998-2002), dengan nilai pinjaman meningkat 11 kali lipat (1116%) dari Rp. 1,04 milyar menjadi Rp. 11,57 milyar satu Baitul Maal (BMT Beringharjo) di kota Yogyakarta dalam periode relatif singkat (1995-2002) telah meningkat omset pinjamannya dari Rp. 50,9 juta menjadi Rp. 5,2 milyar dengan anggota naik dari 393 menjadi 1333 (Tabel 4). Selain itu Koperasi Bina Masyarakat Mandiri yang didirikan 28 “orang gila” tanggal 28 Oktober 1998 di Jakarta, telah membantu 24.873 penduduk miskin di seluruh Indonesia dengan pinjaman Rp. 39 milyar, padahal pada tahun 1999 baru Rp. 440 juta untuk 917 orang
Dapat disimpulkan bahwa kondisi “amat gawat” yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini tidak terletak dalam bidang ekonomi khususnya ekonomi rakyat, tetapi dalam bidang politik, hukum, dan moral. Korupsi yang makin merajalela yang “menyebar” dari pusat ke daerah-daerah bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah bukanlah “krisis ekonomi” tetapi krisis moral, sedangkan “kerusakan bangsa” yang diklasifikasi sebagai “hampir sempurna” oleh Syafii Ma’arif adalah kerusakan dalam bidang tatakrama atau etika politik, bukan kerusakan ekonomi Indonesia. Disinilah kekeliruan fatal pakar-pakar ekonomi makro yang sejak krismon 1997 menyatakan ekonomi Indonesia telah “mati secara aneh dan tiba-tiba” (the strange and sudden death of a tiger)[4].
Jika ekonomi Indonesia telah diibaratkan sebagai harimau (tiger) yang sudah mati sejak krismon 1997-1998, lalu apa yang terjadi dengan orang-orangnya? Apakah mereka (bangsa Indonesia) juga ikut mati? Inilah tidak realistisnya analisis ekonom yang memberikan konsep-konsep ekonomi abstrak dari manusia-manusia ekonomi (homo ekonomikus) tanpa merasa perlu membumikannya. Yang benar manusia adalah juga homo socius dan homo ethicus.
Hal Hill dalam buku pertama tahun 1993 memuji-muji ekonomi Indonesia sebagai The Southeast Asia’s emerging giant, tetapi kemudian pada tahun 1999 menyebutnya telah mati, the strange and sudden death of a tiger. Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, 1759.Kerusakan ekonomi bangsa memang hampir sempurna, tetapi bukan kerusakan ekonomi rakyat. Yang rusak adalah ekonomi konglomerat yang pada masa-masa jayanya terlalu mengandalkan pada modal asing yang murah, tetapi setelah terjadi apresiasi dolar 6 kali lipat secara tiba-tiba maka konglomerat-konglomerat tersebut telah benar-benar hancur berkeping-keping.
Apakah kondisi ekonomi konglomerasi seperti ini akan kita pulihkan? Pasti tidak. Indonesia sebaiknya tidak usah berbicara tentang pemulihan ekonomi (economic recovery). Ekonomi siapa yang akan dipulihkan? Ekonomi konglomerat jangan dipulihkan.
Demikian, berbeda dengan pandangan pakar-pakar ekonomi arus utama (main stream), kerusakan ekonomi yang dialami sektor modern/ konglomerat tidak perlu diratapi, dan kita tidak perlu mati-matian memulihkan kondisi ekonomi pra-krisis yang sangat timpang. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang demokratis, menunjuk pada asas ke-4 Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dimana ekonomi rakyat mendapat dukungan pemihakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah.
Bahwa sejauh ini pakar-pakar ekonomi arus utama menolak konsep ekonomi kerakyatan, bahkan juga ekonomi kekeluargaan, yang hendak digusur dari pasal 33 UUD 1945, adalah karena mereka secara a priori menganggap ekonomi kerakyatan bukan sistem ekonomi pasar, tetapi dituduh sebagai sistem ekonomi “sosialis-komunis” ala Orde Lama 1959-1966. Pandangan dan pemihakan mereka pada konglomerat yang liberal-kapitalistik memang amat sulit diubah lebih-lebih setelah (istilah mereka) ”Uni Sovyet pun kapok dengan sosialisme, dan RRC juga sudah menjadi kapitalis”.
Sudah pasti mereka “keblinger” karena paham sosialisme tidak pernah mati, dan ekonomi RRC tumbuh cepat bukan karena meninggalkan paham sosialisme tetapi karena amat berkembangnya ekonomi rakyat. Ekonomi Indonesia akan tumbuh cepat seperti ekonomi RRC jika mampu mengalahkan virus korupsi yang tumbuh subur sejak awal gerakan reformasi yang telah benar-benar melenceng.
10. Revolusi Mewujudkan Ekonomi Pancasila
Ekonomi Pancasila bukanlah sistem ekonomi baru yang masih harus diciptakan untuk mengganti sistem ekonomi yang kini “dianut” bangsa Indonesia. Bibit-bibit sistem ekonomi Pancasila sudah ada dan sudah dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat perdesaan dalam bentuk usaha-usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Seorang pengemudi ’speed boat’ Zamrani (26 th) yang hanya tamat SD 6 tahun menegaskan “Ekonomi Pancasila dalam Aksi” di dalam pelayanan jasa transpor di Sungai Mahakam Kaltim, yaitu di antara 79 ‘speed’ dan 60 taksi yang semuanya dimiliki warga Kota Bangun. ‘Speed’ hanya melayani penumpang Melak-Kota Bangun pulang-pergi (Kutai Barat dan Kutai Kartanegara), sedangkan taksi Kijang dan lain-lain kendaraan “mini-bus” untuk jurusan Kota Bangun-Tenggarong-Samarinda, dan Balikpapan. “Bagi-bagi rezeki” ala ekonomi rakyat di Kota Bangun inilah bukti nyata telah diterapkannya asas-asas ekonomi Pancasila di Kalimantan Timur.
Adapun mengapa praktek-praktek kehidupan riil dan kegiatan ekonomi rakyat yang mengacu pada sistem (aturan main) ekonomi Pancasila ini tersendat-sendat, alasannya jelas karena politik ekonomi yang dijalankan pemerintah bersifat liberal dan berpihak pada konglomerat. Ketika terjadi krismon 1997-1998, meskipun keberpihakan pemerintah pada konglomerat belum hilang, tetapi gerakan ekonomi kerakyatan yang dipicu semangat reformasi memberikan iklim segar pada berkembangnya sistem ekonomi Pancasila yang berpihak pada ekonomi rakyat.
Pembentukan PUSTEP UGM tepat waktu untuk mengisi kevakuman sistem ekonomi nasional, ketika sistem ekonomi kapitalis liberal di Indonesia sedang digugat, dan sistem ekonomi kerakyatan sedang mencari bentuknya yang tepat dan operasional. Sistem ekonomi kerakyatan merupakan sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila yang diragukan dan tegas-tegas ditolak oleh teknokrat “keblinger”, yang begitu silau dengan sistem ekonomi kapitalis liberal dari Barat (Amerika). PUSTEP UGM bertekad melakukan kajian-kajian kehidupan riil (real life) sehingga dapat membakukan ilmu ekonomi tentang kehidupan riil (real-life economics) dari masyarakat/bangsa Indonesia.
Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, … janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila (Soekarno, 1 Juni 1945)
Jika Ahmad Syafii Ma’arif dan Franz Magnis-Suseno di dalam Seminar “Meluruskan Jalan Reformasi”, mengibaratkan bangsa Indonesia sudah mendekati “jurang kehancuran”, maka reformasi lebih-lebih yang bersifat tambal-sulam jelas tidak akan memadai. “Kapal” Indonesia harus dibalikkan arahnya. Itulah revolusi bukan sekedar reformasi.
Kompleksitas krisis multidimensi sekarang dan beratnya beban kesulitan mengatasi dan mengakhirinya membuat tekad membangun masa depan harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan besar dan inisiatif tingkat tinggi. Tindakan besar yang dimaksud adalah suatu tindakan fundamental, yang secara moral setara dengan revolusi, atau bahkan perang. Justru inilah suatu bentuk nyata ”jihad akbar” yang tidak menuntut pengorbanan pertumpahan darah, tetapi menuntut pengorbanan melawan egoisme dan subjektivisme, suatu bentuk pengorbanan psikologis. Jihad akbar adalah jenis perjuangan berat melawan diri sendiri, suatu perjuangan yang memerlukan keberanian menyatakan apa yang benar walaupun pahit karena bertentangan dengan kepentingan pribadi atau kelompok
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di tengah dominasi sistem ekonomi neoliberal (kapitalisme global), terminologi keadilan, pemerataan, kesejahteraan dan sejenisnya tidak lagi mendapat tempat. Terminologi tersebut lebih berfungsi sebagai slogan politik ketimbang agenda pekerjaan. Yang akrab di telinga sekaligus sebagai agenda kerja ekonomi adalah seputar pertumbuhan, daya saing, effisiensi dan lain-lain.
Koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah merupakan bentuk organisasi ekonomi yang selaras dengan sistem ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi. Melalui pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan—perumbuhan yang dibarengi dengan pemerataan—di mana kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin” semakin sempit, akan dapat diwujudkan. Upaya ke arah yang—saya yakini—dicita-citakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia tersebut merupakan tanggung jawab semua pihak atau semua pemangku kepentingan (stakeholders) yakni rakyat di segala lapisan dan pemerintah. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia pelaku usaha dan pengelola/pengurus serta anggota koperasi dalam arti luas merupakan kunci dari semua upaya pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Koperasi, yang lebih akrab dengan perpaduan terminologi pertumbuhan dengan pemerataan, daya saing dengan solidaritas, dinilai tidak sesuai dengan semangat ”perdagangan bebas”. Karena itu, banyak yang kemudian berpendapat bahwa koperasi harus bisa mengejar atau bersaing dengan konglomerat. Jelas, ini merupakan kesalahan fatal dalam memandang koperasi, sekaligus merupakan kekalahan ”kubu” ekonomi kerakyatan dalam perang wacana melawan kapitalisme. Koperasi berbeda (berlawanan) dengan konglomerasi, baik bentuk, semangat, jiwa maupun tujuannya. Terlebih lagi, konglomerasi merupakan kapitalisme kroni yang secara substansial menyalahi sendi-sendi dasar kapitalisme itu sendiri
Namun, apa yang terjadi setelah 58 tahun Indonesia merdeka ? Sistem Kapitalisme yang diberlakukan, koperasi (sebagai soko guru/sisterm ekonomi) justru ditinggalkan. Kapitalisme mendapat dukungan bukan hanya dalam bentuk intervensi asing, tapi juga berbentuk produk kebijakan politik ekonomi dalam negeri yang memanjakannya. Sebaliknya, koperasi justru dimarginalkan sebatas institusi untuk sekedar ada. Institusionalisasi koperasi tentu berbeda dengan bangunan ekonomi sebagai suatu sistem. Lembaga-lembaga koperasi merupakan bagian ekonomi rakyat, sedang koperasi sebagai bangunan ekonomi tidak lain adalah ekonomi kerakyatan sebagai sistem / bangunan ekonomi.
Agenda kita ke depan bukan hanya memperkuat bangunan (sistem) ekonomi dalam bentuk koperasi (ekonomi kerakyatan), tapi pada saat yang sama juga harus membatasi keserakahan kapitalisme di Indonesia. Untuk agenda yang pertama (membangun ekonomi kerakyatan), kita sudah melaksanakannya dalam bentuk slogan, meski belum pada substansi. Untuk agenda yang ke dua (membatasi keserakahan kapitalisme), baik slogan maupun substansi belum kita mulai.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber:
http://www.wartaekonomi.co.id/berita-215203958-ekonomi-kerakyatan-solusi-menghadapi-dampak-krisis-global.html
http://wiki.blogdetik.com/tag/ekonomi-kerakyatan/
http://matakuliahekonomi.wordpress.com/2010/10/21/contoh-makalah-sistem-ekonomi-kerakyatan/
http://yuyunchelsea.wordpress.com/2011/03/02/pengertian-dan-ekonomi-dan-perekonomian-indonesia/
http://terapibisnis.com/artikel-tb/86-ekonomi-kerakyatan-bisa-menjadi-alternatif.html
http://www.scribd.com/doc/87139758/diskusinusantara5revrisondbaswir
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm
http://lastikafebri.blogspot.com/2012/04/peranan-ekonomi-kerakyatan-sebagai.html
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm
http://ayudyafitriamazdaliafa.blogspot.com/2011/09/ekonomi-kerakyatan-sebagai-tonggak.html
http://succesary.wordpress.com/2008/12/10/sistem-ekonomi-kerakyatan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar