South Sea Company adalah sebuah korporasi yang didirikan pada 1710 di  Inggris, dengan kegiatan aneka perdagangan, termasuk perdagangan budak.  Daerah tujuan perdagangannya adalah Amerika Selatan yang merupakan  koloni Spanyol. Direktur South Sea Company mengumbar janji kepada para  investor, bahwa mereka akan meraup “fabulous profits” berikut segunung  emas dan perak. 
Tertarik oleh reklame ini saham South Sea Company pun lekas laris  keras, bahkan harganya naik enam kali lipat dalam setahun. Tapi apa yang  terjadi berikutnya? Harga saham korporasi ini merosot terus dan  akhirnya ambruk karena tiba-tiba para pembeli saham menyadari bahwa  saham korporasi itu tidak bernilai. Para direktur South Sea Company  ternyata punya sedikit sekali pengetahuan tentang Amerika Selatan, dan  tak punya koneksi di benua itu. Bukan hanya itu, Raja Spanyol menolak  memberi izin korporasi itu untuk berdagang di koloninya.
South Sea Company runtuh pada 1720. Orang-orang terkejut dan panik.  Mereka menyerbu kantor korporasi itu dan menembak mati salah seorang  direkturnya, John Blunt. Kerumunan orang meneruskan perjalanan ke  Westminster, dan raja harus cepat-cepat kembali ke London. Para direktur  South Sea Company dipanggil di depan Parlemen, didenda dan dihukum.  Pada tahun 1720, Parlemen mengesahkan Bubble Act, yang memutuskan adalah  sebuah tindakan kriminal mendirikan sebuah perusahaan yang “presuming  to be a corporate body” (Carswell, 1960). Inilah sebuah keputusan  bersejarah di Inggris dan di dunia. Mendirikan korporasi dinyatakan  sebagai tindakan kriminal!
Tapi 150 tahun kemudian di Amerika Serikat, gudangnya korporasi,  terjadi skandal yang identik. Sebuah korporasi besar, Enron, runtuh  akibat penipuan dan korupsi. Pemegang saham beserta buruh dan pegawainya  juga terhempas tak berdaya, sementara para CEO dan kawan-kawannya kabur  dengan mengantongi miliaran dollar. Pemerintah Federal Amerika Serikat  mengecam praktik kotor dari Enron itu dan mengeluarkan Sarbanes-Oxley  Act pada 2002 untuk mengatur dan mengendalikan gerak korporasi. Hingga  tahun 2004, perkara Enron ini masih belum selesai dan orang-orang  menengarai bahwa Pemerintah Federal tidak serius menangani kasus yang  memalukan negara Paman Sam ini.
Korporasi memang berbeda dari perusahaan biasa yang didirikan oleh  sekelompok orang, entah karena hubungan kekerabatan atau karena  perkawanan. Dalam korporasi, digabungkan modal dari banyak orang yang  tidak kenal satu sama lain, lewat penjualan saham. Di situ dengan jelas  dipisahkan antara kepemilikan (ownership) dan pengelolaan (management).  Korporasi memang mempunyai keunggulan dibandingkan bentuk perusahaan  lain, karena ia mampu menggalang dana yang tak terbatas dari masyarakat.  Tidak heran jika “korporasi” menarik banyak pengusaha yang ingin  mengadakan ekspansi dalam usahanya.
Dalam sejarahnya, korporasi bukanlah hal yang baru. Ia telah dikenal  sejak abad ke-16. Pada 1564, misalnya, didirikan The Company of the  Mines Royal, yang dibiayai dengan 24 helai saham yang dijual £1.200 per  lembarnya. Pada 1688, di Inggris terdapat 15 korporasi dan jumlah ini  terus meningkat pada abad ke-17. Pada tahun 1825, Bubble Act dicabut dan  bersama dengan itu bermunculan korporasi dalam jumlah besar. Di Amerika  Serikat, setelah memisahkan diri dari Inggris, antara 1781 dan 1790  jumlah korporasi meningkat 10 kali lipat, dari 33 menjadi 328.
Kendati terjadi perkembangan yang sangat pesat, ruang gerak korporasi  masih terbatas. Pada umumnya, sampai abad ke-19, korporasi bergerak di  bidang pembangunan rel kereta api, sebuah bidang usaha yang amat  menjanjikan pada masa itu. Ini terjadi baik di Inggris maupun di Amerika  Serikat. Hal ini dapat dimaklumi karena pembangunan rel kereta api  membutuhkan modal amat besar yang tidak mungkin dibiayai oleh sekelompok  orang saja. Pada akhir abad ke-19, korporasi mengalami mutasi yang luar  biasa yang membuatnya semakin perkasa.
Pemicunya adalah persaingan antarnegara bagian di Amerika Serikat.  New Jersey dan Delware mengambil langkah dramatis dengan menghilangkan  berbagai restriksi pada korporasi. Misalnya, dengan dihapuskannya  peraturan yang memerintahkan bisnis harus mempunyai tujuan yang  didefiniskan secara sempit, hanya boleh hidup untuk jangka waktu  tertentu, dan beroperasi di wilayah tertentu. Hapusnya peraturan ini  membuat korporasi seakan mendapat tambahan sayap besar dengan jarak  jelajah wilayah yang besar dan waktu yang tidak terbatas. Bukan hanya  itu, peraturan yang mengatur merger dan akuisisi juga diperlonggar,  sehingga memungkinkan terjadinya monopoli (Bakan, 2004: 13-14).
Gonjang-ganjing “Depresi Besar” (great depression) pada tahun 1930-an  mendorong Presiden Franklin D. Roosevelt mengambil tindakan merantai  gerak korporasi. Sebelumnya memang telah muncul ketakutan besar di  antara rakyat yang menyaksikan sepak-terjang korporasi. Kebijakan New  Deal memenuhi aspirasi rakyat Amerika tapi dihujat oleh para pebisnis.  Meski demikian kebijakan ini berhasil bertahan selama hampir 50 tahun,  sampai sekitar tahun 1980-an ketika Ronald Reagan menempuh kebijakan  neoliberal, membiarkan korporasi bebas berkiprah lagi.
***
Perhatian kepada perkembangan korporasi di Inggris dan di Amerika  Serikat memang tak terelakkan jika orang ingin mengetahui latar belakang  historis pertumbuhan korporasi global karena di dua wilayah bumi inilah  korporasi bermula dan kemudian menyebar. Perusahaan-perusahaan Inggris  dan Amerika, jauh sebelum mendapat saingan serius dari perusahaan Jerman  dan Jepang, berkembang menjadi besar dan kemudian ke luar dari batas  wilayahnya untuk menjelma menjadi multinational corporations atau MNC.
Gejala munculnya korporasi yang multinasional ini sebenarnya sudah  ada sejak Abad Pertengahan, seperti Bank Medici di Florence pada abad  ke-15. Pada abad ke-16 hingga abad ke-18 dikenal adanya perusahaan  dagang seperti “East India Company” baik yang berkebangsaan Inggris  maupun Belanda, tak ketinggalan “Hudson’s Bay Company.” Mereka  beroperasi dalam lingkungan wilayah empire dan menjalankan perdagangan  ke seluruh dunia. Bahkan mereka juga giat dalam menjalankan produksi.  Namun, kesemuanya itu belum diperhitungkan sebagai MNC dalam arti yang  kita punyai sekarang, bukan hanya karena faktor kecepatan, tetapi juga  kegiatan perdagangan mereka pada umumnya terbatas pada produk-produk  mewah dan merupakan bagian kecil dari kegiatan ekonomi dunia (Held et  al., 1999: 239). Sebagaimana dihitung oleh Kuznets (1967), ekspor dunia  pada awal abad ke-19 itu hanya menduduki 1-2 persen dari GDP dunia.  Kecuali itu dapat dianggap sebagai prototipe dari MNC (MNC di sini  dipahami sebagai korporasi yang tidak hanya terlibat dalam perdagangan  di seluruh dunia, tetapi juga investasi di tingkat global. Bahkan tidak  hanya memiliki kekayaan (asset) di mancanegara, tetapi juga ikut masuk  dalam kegiatan yang bersifat value-added di mancanegara. )
Para sejarawan sepakat bahwa MNC dalam arti di atas muncul pada akhir  abad ke-19, terutama di bidang pertambangan dan pertanian. Pada masa  yang dikenal dengan sebutan “Gold Standard” (1870-an sampai Perang Dunia  I), muncul korporasi-korporasi yang mengumpulkan modal di dalam negeri  dan menanamkannya di mancanegara. Pada tahun 1914, Inggris sebagai  negara yang paling maju pada waktu itu menyumbang 45 persen dari total  penanaman modal asing dunia, disusul oleh Amerika Serikat (14 persen),  Jerman (14 persen), Prancis (11 persen), Belanda (5 persen) (Cohn, 2002:  325). Umat manusia kemudian terjerumus dalam dua kali perang dunia, dan  sekali “depresi besar,” yang menyebabkan kegiatan bisnis internasional  amat terganggu.
Tahun 1945 sering dilihat sebagai tahun pembatas, seiring dengan  berakhirnya Perang Dunia II. Setelah tahun ini muncul sebuah percepatan  luar biasa dalam kegiatan ekonomi internasional, bertepatan dengan  bangkitnya ekonomi di seluruh dunia dalam rangka ke luar dari reruntuhan  perang. Kalau pada akhir abad ke-19 Inggris menjadi pemimpin dan  pelopor dalam hal MNC, maka pada masa sesudah Perang Dunia II peran itu  diambil alih oleh Amerika Serikat. Menurut catatan, pada tahun 1967  perusahaan-perusahaan Amerika menguasai lebih dari separo (53,8 persen)  dari total penanaman modal asing dunia (Cohn, 2002: 327). Sebagian besar  perusahaan Amerika bergerak di bidang pertambangan dan pertanian,  terutama industri minyak.
Keunggulan Amerika Serikat tidak bertahan lama. Jerman dan Jepang  yang semula mendapat bantuan dari Amerika Serikat, pada tahun 1960-an  mampu bangkit dan menjadi pesaing Amerika Serikat. Kalau pada tahun 1967  Amerika Serikat masih dapat membusungkan dada karena menyumbang lebih  dari separo dari aliran saham untuk penanaman modal asing, maka pada  tahun-tahun berikutnya angka itu terus menyusut. Pada tahun 1980,  misalnya, angka untuk Amerika Serikat turun ke 42,9 persen sementara  angka untuk Jepang naik dari 0,5 persen (1960) menjadi 3,7 (1980),  demikian pula Jerman dari 0,8 persen (1960) menjadi 8,4 persen (1980)  (Cohn, 2003: 327).
Namun perkembangan ini masih dianggap lambat kalau dibandingkan  dengan perkembangan pada tahun 1980-an. Angka rata-rata pertumbuhan  penanaman modal asing adalah 14 persen per tahun, yang tercepat sejak  abad ke-19. Jumlah MNC non-Amerika makin banyak yang menghimpit MNC  Amerika. Diukur dengan aliran saham untuk penanaman modal asing, pada  akhir tahun 1980-an, MNC Amerika cuma memberi sumbangan sebesar 25,8  persen (Cohn, 2003: 327). Pada akhir tahun 1990-an angka itu lebih kecil  lagi menjadi 24,1 persen (ibid.). Memasuki abad ke-21, MNC tidak lagi  bermarkas di negara-negara maju, tetapi juga di negara-negara  berkembang, seperti Mexico, Cile, Brazil, Cina, Korea Selatan, India,  Filipina.
Sementara itu ada kenaikan dramatis jumlah MNC di dunia. Pada abad  ke-17 ada sekitar 500 MNC (sekurangnya dalam bentuk prototipe), pada  abad ke-19 naik menjadi 1.500, memasuki abad ke-20 sudah menjadi 2.500.  Pada awal Perang Dunia I (1914) terdapat 3.000, selang 55 tahun kemudian  melonjak dua kali lipat menjadi 7.258. Seperti diutarakan di atas,  tahun 1980-an adalah tahun suburnya MNC. Pada tahun 1988 tercatat 18.500  MNC, belum sampai 10 tahun angka itu sudah melambung menjadi 59.902.  Pada tahun 2000 ada 63.000 MNC. Begitu pula dalam hal jumlah negara yang  menjadi asal (home) atau penerima (host) bertambah dari 62 negara pada  1900 menjadi 220 negara pada tahun 2000 (Medard Gabel dan Henry Bruner,  2003: hlm. 3).
Apakah ini berarti bahwa MNC Amerika telah hilang dari panggung  dunia? Tidak sama sekali. Pada tahun 2000, dari 500 MNC terbesar 185 di  antaranya masih bermarkas di Amerika Serikat, Jepang di tempat kedua  dengan 108 MNC, sementara Inggris dan Jerman masing-masing menyumbang 34  MNC dan Prancis 32 MNC (Medard Gabel dan Henry Bruner, 2003: 4-5).  Kalau diukur menurut nilai aset yang dikumpulkan, MNC asal Amerika juga  masih menduduki papan atas. Laporan dari Business Week (4-11 Agustus,  2003) menyebutkan, delapan dari sepuluh MNC terbesar di dunia bermarkas  di Amerika Serikat, yaitu Coca-Cola, Microsoft, IBM, GE, Intel, Disney,  McDonald’s, dan Marlboro. Dari seratus merek dunia, 62 di antaranya  adalah dari Amerika Serikat.
***
Uraian di atas membeberkan perkembangan MNC menurut ukuran dan  menurut wilayah asal usul. Bagaimana dengan perkembangan MNC menurut  bidang usaha? Buku Global Inc., yang memetakan MNC di seluruh dunia  membagi gerak MNC dalam tiga kelompok besar: (1) Korporasi di bidang  industri, (2) Korporasi di bidang teknologi informasi, (3) Korporasi di  bidang jasa. Kelompok-kelompok ini masih dapat dirinci lagi.
Korporasi di bidang industri:
Mobil
Minyak dan Petrokimia
Kimia dan Obat-obatan
Konstruksi dan Bahan Konstruksi
Hutan dan Produk Kertas
Perdagangan/konglomerat
Korporasi di bidang teknologi informasi:
Komputer dan elektronika
Piranti lunak dan internet
Telekomunikasi
Korporasi di bidang jasa:
Bank komersial
Pelayanan transportasi dan pos
Pelayanan di bidang hukum
Pelayanan di bidang makanan
Periklanan
Media dan hiburan
Konsultasi dan akuntansi
Retail
Nampak bahwa MNC telah menguasai seluruh bidang kehidupan manusia.  Dari kebutuhan rumah tangga hingga kebutuhan kantor, semua dapat  dipenuhi oleh MNC yang pada saat ini berjumlah sekitar 63 ribu. Kalau  dirinci, maka makanan, pakaian, perumahan, obat-obatan, bahkan hiburan  oleh MNC telah dimasukkan dalam cakupan operasi mereka. Begitu juga  kebutuhan transportasi dan komunikasi saat ini tidak mungkin melepaskan  diri dari MNC.
Namun, di samping dampak yang ditimbulkan oleh produk MNC, kehadiran  MNC sendiri juga menimbulkan dampak, ekonomi, sosial, maupun politik.  Sekurang-kurangnya ada tujuh wilayah yang terkena dampak MNC: (1) Gaji  dan pekerjaan, (2) Pajak, (3) Teknologi, (4) Modal, (5) Kebudayaan, (6)  Lingkungan dan (7) Standardisasi. Di bidang tenaga kerja, misalnya, MNC  dan anak perusahaannya diduga mempekerjakan paling sedikit 90 juta  orang, bahkan bisa mencapai 200 juta orang jika memperhitungkan mereka  yang dipekerjakan secara tidak langsung (Medard Gabel dan Henry Bruner,  2003: hlm. 122). Meskipun diakui bahwa MNC memberi gaji yang tinggi,  tempat kerja yang aman dan juga benefit yang lebih banyak dibandingkan  dengan perusahaan lokal, tapi MNC juga kerap dituduh karena  mempekerjakan orang dalam sweatshops, dengan gaji yang sedemikian kecil  sehingga eksploitatif.
Ambillah contoh lain, yaitu dampak pada lingkungan. Banyak MNC yang  terlibat dalam kegiatan industri yang dapat mencemari lingkungan seperti  pertambangan, kehutanan, listrik, dan petrokimia. MNC dipandang sebagai  sumber dari limbah beracun dunia (di Amerika Serikat dua pertiga dari  limbah beracun berasal dari perusahaan kimia). Karena penebangan kayu  gelondong dan penggalian tambang-tambang mereka menyebabkan penggundulan  hutan, polusi sungai dan air tanah, mendangkalnya sungai dan  penampungan air, dan tentu saja merusak keindahan alam.
Banyak sekali studi telah dilakukan bahwa di samping manfaat yang  ditimbulkan oleh MNC, masih lebih banyak dampak negatif yang  ditimbulkan. Ketegangan dengan negara-negara yang didatangi oleh MNC  (host country) pun tidak terelakkan, bahkan juga dengan negara asal  (home country). Pada banyak kesempatan malah terjadi konflik  berkepanjangan. Dalam perkembangannya, MNC tidak hanya masuk dalam  hubungan konfliktual dengan negara, tetapi juga dengan organisasi  internasional atau International Governemtal Organizations seperti PBB  serta International Non-governmental Organizations (dalam bahasa  Indonesia lebih dikenal Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mencoba untuk  meredam sepak terjang MNC itu.
Namun berbagai macam konflik ini tidak menyurutkan MNC untuk terus  beroperasi untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya. Ada dua  strategi yang dipakai oleh MNC. Pertama, MNC dapat menggunakan strategi  yang dipakai oleh layaknya sebuah kekuatan politik, yaitu ancaman  (threat). Jika sederetan syarat yang diminta oleh MNC tidak dipenuhi,  maka MNC dapat mengancam akan ke luar dari negara atau wilayah tertentu.  Hal ini dapat dilakukan karena MNC dapat memindahkan perusahaannya di  tempat mana pun di dunia (foot-loose industries).
Strategi kedua adalah dengan cara korupsi. MNC mengirimkan uang suap  kepada pejabat-pejabat pemerintah agar yang bersangkutan mau meloloskan  permintaan dan tuntutan MNC. Hal inilah yang telah memicu yang disebut  “korupsi global.” Sebuah buku yang diterbitkan oleh Transparency  International (TI), Global Corruption Report 2004, mengungkapkan  data-data yang mengejutkan tentang korupsi oleh investor asing. Laporan  TI tahun 2004 ini memberi ulasan lebih panjang lagi tentang korupsi oleh  investor asing. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Control Risks  Group pada 50 perusahaan di Inggris, Jerman, Belanda, Amerika Serikat,  Hong Kong, dan Singapura, ditemukan bahwa suap-menyuap memang terjadi.  Banyak perusahaan lokal kalah bersaing karena suap yang dilakukan oleh  investor asing. Perusahaan di Hong Kong dan Singapura merupakan korban  yang paling menderita, masing-masing 60 dan 64 persen perusahaan di sana  kalah bersaing (Wibowo, 2004).
Untuk mendobrak negara yang “bandel,” terutama negara di Dunia  Ketiga, MNC tidak segan-segan meminjam kekuatan dari negara tempat  mereka berasal. Sekali lagi, menurut survei yang sama, diperlihatkan  bahwa investor asing dari Amerika Serikat dan negara OECD lainnya  memperoleh keuntungan lewat “tekanan politik” yang dilakukan oleh negara  mereka. Hanya 7,6 persen perusahaan asal AS dan 9,2 persen perusahaan  asal negara OECD yang tidak pernah memakai tekanan politik. Selebihnya  terbagi antara “beberapa kali,” “secara teratur,” dan “selalu.” Yang  beberapa kali melakukan tekanan politik adalah 48,4 persen untuk  perusahaan Amerika dan 54,8 persen perusahaan OECD. Berapa kali yang  selalu memakai tekanan politik? Ada 6 persen dari perusahaan Amerika dan  2 persen dari perusahan dari negara yang tergabung dalam OECD (ibid.).
Kalau langkah ini semua belum dianggap cukup, maka banyak MNC juga  mengambil gebrakan yang lebih besar, yaitu melakukan penetrasi pada  organisasi internasional, seperti World Bank, IMF dan WTO. Dua  organisasi yang disebut pertama awalnya dirancang sebagai organisasi  yang mempunyai misi luhur, menolong negara-negara yang mengalami  kesulitan ekonomi. Dalam arti kata tertentu, WTO juga dimaksud untuk  meminimalisir sengketa perdagangan. Namun, dalam perkembangannya,  organisasi-organisasi ini mengalami perubahan akibat penetrasi MNC.  Seperti ditengarai oleh Richard Peet akan adanya “Washington-Wall Street  Alliance” (Peet, 2003: 200-223). Kebijakan-kebijakan tiga organisasi  ekonomi dunia paling berpengaruh itu pada akhirnya mengabdi kepada  kepentingan MNC, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kedigdayaan MNC kini diakui bukan hanya di bidang finansial, tetapi  juga dalam bidang politik. MNC telah tumbuh menjadi sebuah kekuatan  sendiri di dunia. Oleh John Pilger mereka dinamakan “new rulers of the  world” atau penguasa-penguasa baru dunia. Pada jaman lampau masih dapat  dibedakan antara penguasa di bidang ekonomi dan penguasa di bidang  politik, dan masing-masing mempunyai sistem reward-punishment- nya  sendiri. Kini MNC-lah yang mengendalikan dan menetapkan hadiah apa yang  patut diperoleh seorang politisi atau sebuah negara, dan hukuman apa  yang pantas ditimpakan.
Sumber:
Bakan, Joel, 2004, The Corporation: The Pathological Pursuit of Profit and Power, New York: Free Press.
Carswell, John, 1960, The South Sea Bubble, London: Cresset Press.
Chossudovsky, Michel, 2003, The Globalization of Poverty and the New World Order, Edisi kedua, Ontario, Canada: Global Outlook.
Cohn, Theodore, 2002, Global Political Economy, Theory and Practice Edisi kedua, New York: Longman.
Elliott, Kimberley, ed., 1997, Corruption and Global Economy, Institute for International Economics.
Gabel, Medard dan Henry Bruner, 2003, Global Inc.: An Atlas of the Multinational Corporation.
Gray, John, 2000, False Dawn: The Delusions of Global Capitalism, London: Granta Books, 2000.
Greider, William, 1997, One World, Ready or Not. The Manic Logic of Global Capitalism, New York: Touchstone Book.
International Forum on Globalization, 2001, Globalisasi, Kemiskinan dan  Ketimpangan. Terjemahan A. Widyamartaya dan AB Widyanta, Yogyakarta:  Cindelaras.
Korten, David, 2001, When Corporations Rule the World, Edisi kedua, San Fransisco: Berret-Koehler.
Nace, Ted, 2003m Gangs of America: The Rise of Corporate Power and the Disabling of Democracy, San Fransisco: Berret-Koehler.
Peet, Richard, 2003, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO, London: Zedbooks.
Spero, Joan E. dan Jeffrey A. Hart, 2003, The Politics of International Economic Relations, Wadsworth: Thomson.
Wibowo, I., 2003, “Globalisasi, Kapitalisme Global dan Matinya  Demokrasi” dalam Bre Redana, JB Kristanto, Nirwan Ahmad Arsuka, eds.,  Esei-esei 2003 Bentara, Jakarta: Penerbit Kompas.
___________, 2004, “Demokrasi dan Korupsi Global,” Kompas, 2 Agustus 2004.
Sumber: http://ss-kediri.blogspot.com/2009/02/sejarah-globalisasi-dan-korporasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar